Friday, June 03, 2005

SELIBAT DALAM IMAMAT MASIH LAYAK DIPERTAHANKAN

SELIBAT DALAM IMAMAT MASIH LAYAK DIPERTAHANKAN
Sejarah Selibat Kaum Imam
Oleh : Father Ray Ryland

Melalui media kerap kali kita mendengar perbedaan pandangan para teolog dan komentator bahwa selibat kaum imam adalah sebuah aturan yang dibuat oleh Gereja Katolik yang “membebani” para klerusnya sejak abad ke-11 atau 12. Hal itu tidak benar. Berikut ini adalah fakta dan buktinya.

Mari kita awali dengan fakta bahwa Imam Besar sendiri adalah selibat. Ia menghargai mereka yang memilih hidup selibat demi kerajaan Allah (Mat.19:12). Kita ketahui bahwa Santo Petrus adalah satu-satunya rasul yang menikah. Hal yang menarik adalah ia adalah seorang rasul yang bertanya apa yang akan terjadi pada mereka yang meninggalkan segala-galanya untuk mengikuti Yesus. Yesus menjawab : “Tak ada seorang pun yang telah meninggalkan rumah atau isteri atau saudara laki-laki atau orang tua atau anak-anaknya, demi kerajaan Allah, tidak akan menerima seratus kali lipat saat ini, dan hidup kekal” (Luk.18:29-30).

Santo Paulus menyatakan bahwa ia memiliki hak yang sama dengan para rasul lainnya “didampingi oleh seorang isteri [dalam perjalanannya]” (1 Kor.9:5). Kata dari bahasa Yunani yang menerjemahkan kata “isteri” berarti “saudari wanita” atau “saudari isteri”. Kata ini tidak mengacu pada seorang isteri dalam arti umum. Melainkan, kata ini berarti seorang wanita yang melayani para rasul, siap sedia untuk meneruskan karya kerasulan dan pelayanan mereka. Kitab Suci beberapa kali menyatakan kaum wanita yang mengurusi Yesus Tuhan kita selama pelayanan-Nya, bahkan hingga kematian-Nya.

Menjalankan Hukum
Gereja perdana mencatat bahwa selibat kaum klerus adalah disiplin hukum dari Konsili Elvira (305 M). Kanon ini mengatur perihal pelanggaran-pelanggaran atas peraturan tradisi Gereja; Kanon ini bukanlah peraturan yang baru. Kanon 33 menyatakan para uskup, imam, dan diakon yang menikah dilarang memiliki hubungan seksual dengan isteri mereka dan memiliki anak. (Kaum klerus yang tidak menikah, seperti semua orang yang tidak menikah, tentu saja terikat oleh peraturan Kitab Suci tentang kemurnian). Kanon ini mengingatkan mereka bahwa mereka terikat oleh kewajiban bertarak sempurna, bila melanggar diganjari hukuman pemecatan dari karya pelayanan mereka. Kita mengenal dari beberapa sumber selanjutnya bahwa kaum tertahbis dan isterinya diminta untuk menyetujui kewajiban ini sebelum ia ditahbiskan.

Konsili Arles (314) menggunakan bahasa serupa berkenaan dengan peraturan tarak sempurna bagi kaum klerus dan hukuman bagi para pelanggarnya. Konsili Nicea (325) juga mengatur hal yang sama.

Dalam tahun 385 seorang uskup Spanyol meminta Paus bantuan untuk menjalankan peraturan ini. Paus Siricius mengulangi pernyataan yang berkenaan dengan peraturan tarak sempurna ini, menyatakan bahwa hal ini “tak dapat dibatalkan”.[1] Dalam tahun selanjutnya Paus mengeluarkan sebuah dekrit yang mengingatkan para klerus yang menikah tentang kewajiban mereka untuk bertarak sempurna. Kaum klerus yang menikah yang tidak mematuhi tidak dapat naik banding terhadap tradisi selibat yang fakultatif ini; tidak ada tradisi semacam ini. Melainkan, mereka mengutip 1 Timotius 3:2 dan Titus 1:6 (seorang uskup harus “menikah hanya sekali”) untuk membenarkan persatuan konjugal dengan isteri mereka. Paus Siricius berpegang teguh bahwa frase “menikah hanya sekali” tidak berarti seorang uskup yang menikah dapat melanjutkan hubungan konjugal mereka setelah pentahbisan. Namun frase ini berarti bahwa menjadi setia terhadap seorang isteri akan menandakan bahwa seorang pria cukup matang untuk menghidupi janji tarak sempurna yang diminta terhadapnya dan isterinya setelah ia ditahbiskan. Ajaran Paus Siricius adalah penafsiran magisterial pertama terhadap bagian ini. Hal ini direfleksikan dalam tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja dalam zaman itu seperti Ambrosius, Epifanius dari Salamis, dan Ambrosiaster.

Berangkat dari kisah kronologis ini, sekarang kita mengetahui dalam “Petunjuk terhadap Pelayanan dan Hidup Kaum Imam” yang dikeluarkan tahun 1994 oleh Kongregasi Suci untuk para Klerus. Bab 59 menyatakan tentang penafsiran terhadap perikop Timotius dan Titus di atas. Disebutkan pula beberapa konsili awal yang memberi mandat untuk bertarak bagi orang yang menikah sebagaimana kaum klerus. Ditambahkan pula bahwa “Gereja, dari zaman para rasul, telah menghendaki untuk memelihara rahmat para klerus untuk bertarak sempurna dan memilih para calon untuk tahbisan suci dari umat yang menjalankan hidup selibat (bdk. 2Tes.2:15; 1Kor.7:5, 9:5; 1Tim.3:2-12, 5:9; Tit.1:6-8)”. Kaum pria yang menikah bersama isterinya telah mengikrarkan tarak sempurna sebelum pentahbisan, diperhitungkan di antara para “umat yang selibat”.

Konsili Kartago dalam tahun 390 menyatakan kembali peraturan tarak sempurna bagi semua kaum klerus yang menikah. Konsili ini menuntut, adalah mudah menyatakan kembali tradisi Gereja yang terus berlaku. Berbicara tentang dekrit ini, Uskup Genethlius sebagai pemimpin berkata, “Apa yang diajarkan olah para rasul dan apa yang dijalankan sebagai peninggalan zaman kuno, marilah kita juga berusaha menjaganya”.[2] Tradisi serupa juga dinyatakan kembali pada awal abad ke-5 oleh sebuah Sinode Roma yang dipimpin oleh Paus Innocensius I. Para paus selanjutnya, seperti Leo Agung (440-461), menjunjung tinggi pengajaran ini. Kita menjumpai ajaran yang sama dari Hieronimus, Agustinus, dan Ambrosius. Beberapa konsili yang menyatakan ulang tradisi ini adalah Tours (461), Gerona (517), Auvergne (535), dan Konsili Lateran II (1139).

Pemutusan hubungan dengan tradisi
Mereka yang mendukung selibat kaum klerus sebagai hal yang tidak wajib sering membandingkan dengan praktek Gereja Ortodoks Timur sebagai teladan apostolik yang sahih. (Namun bagaimana mungkin terjadi dua hal berkenaan tradisi “apostolik” yang yang bertolak belakang ?) Sebelum tahun 692 semua Gereja Timur mengikuti tradisi apostolik yang menghendaki tarak baik klerus yang menikah maupun yang tidak. Konsili Trullo tahun 692 secara radikal mengubah tradisi ini.

Dalam Kanon 13, Trullo secara eksplisit dan secara polemik menolak disiplin Roma, yaitu disiplin universal yang dijalankan pada waktu itu. Konsili memutuskan bahwa untuk selanjutnya pria menikah yang ditahbiskan menjadi diakon dan imam harus diijinkan untuk tetap memiliki persatuan konjugal dengan isterinya setelah pentahbisan. Hak istimewa ini tidak berlaku bagi pria menikah yang ditahbiskan menjadi uskup. Konsili mengatur bahwa para tertahbis lainnya akan tetap hidup dengan tarak sempurna setelah ditahbiskan, namun tidak memberikan alasan untuk pengaturannya.

Hal ini merupakan pemutusan tradisi apostolik yang cukup berarti. Konsili mencoba untuk membenarkan tindakan-tindakannya dengan pertimbangan terhadap Konsili Kartago (397). Ketika hal ini dikutip oleh Konsili Kartago sebagai sebuah preseden, Trullo mengubah bahwa Kartago telah memutuskan untuk memberikan preseden bagi hal yang belum pernah terjadi dalam Trullo. Kanon-kanon Kartago dikenal secara luas. Trullo tidak melakukan kesalahan secara sederhana. Trullo memfalsifikasi kanon-kanon Kartago demi tujuannya sendiri. Hal ini adalah asal mula disiplin Gereja Ortodoks Timur berkenaan dengan selibat kaum imam.

Sejak Gereja Timur memisahkan diri dari Roma, Roma selalu mengacu pada disiplin Gereja Timur dalam syarat-syarat penuh kehormatan, agar tidak terjadi pelanggaran lebih luas lagi. Namun Roma tidak pernah menerima kanon Trullo sebagai sebuah dekrit ekumenis yang sahih. Roma telah berhati-hati menghindari anjuran bahwa praktek Gereja Timur memiliki nilai yang sama dengan tradisi apostolik berkenaan dengan selibat kaum klerus yang tetap dipertahankan oleh Roma.

Rahmat Hidup Selibat
Sering kali orang mendengar dugaan dan prakiraan tentang apakah paus kita selanjutnya akan mengijinkan selibat sebagai hal yang fakultatif. Apakah kewajiban hidup selibat kaum imam patut dipertahankan ? Jawabannya adalah “YA”.

Paus kita saat ini dan sinode-sinode para uskup telah menyatakan dengan tegas dan jelas komitmen Gereja untuk tetap mempertahankan hidup selibat. Dalam tahun 1992 anjuran apostolik untuk imamat (Pastores Dabo Vobis, “Aku akan Memberi Kamu Gembala-gembala”), Paus Yohanes Paulus II menyatakan kembali bahwa selibat kaum imam adalah sebuah rahmat: “rahmat berharga”, “rahmat tak ternilai”, “rahmat dari Allah untuk Gereja”. Dengan kata lain, sebuah rahmat untuk dihargai, tidak untuk diabaikan atau dilepaskan. Sinode para uskup tahun 1990 menyatakan : “Sinode tidak berharap untuk meninggalkan keraguan sedikit pun dalam benak seseorang menyangkut kehendak kuat Gereja untuk memelihara hukum berkenaan permintaan pilihan hidup selibat secara kekal dan bebas untuk para calon imam yang akan ditahbiskan dalam ritus Latin saat sekarang dan masa yang akan datang”.[3]

Tuntutan yang kerap kali diungkapkan adalah bahwa kekurangan kaum klerus disebabkan oleh kewajiban selibat adalah tanpa bukti dan fakta yang benar. Telah dibuktikan dengan fakta bahwa dalam beberapa keuskupan di Negara Amerika Serikat, di Afrika, dan sebagian Timur Tengah, dan di Amerika Latin, terdapat kelimpahan kaum klerus. Penurunan jumlah tanggapan terhadap panggilan hidup religius sebagian besar hanya terbatas di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa. Penyebab utamanya, sebagai pendapat penulis (Father Ray Ryland) adalah perbedaan pandangan yang meluas yang telah membingungkan umat dan menyebabkan kehilangan iman yang terjadi di antara para umat secara luas

Terdapat banyak tanda yang memberikan harapan besar di Amerika Serikat ini bahwa penurunan ini telah berhenti, dan bahwa berkenaan dengan panggilan-panggilan imamat kita sekali lagi memiliki tanda meningkat. Kita semua haruslah berdoa bahwa kecenderungan ini tidak akan berlanjut.

(Diterjemahkan dari : Father Ray Rayland, “Priestly Celibacy Is Here to Stay” hal.42-43, Majalah Katolik Amerika Serikat “Lay Witness” May/June 2003, Steubenvilee, Ohio, oleh : Frater Alexander Denny Wahyudi, sx)
(Father Ray Ryland adalah penasehat rohani dari Catholics United for the Faith)
[1] Christian Cochini, SJ., Apostolic Origins of Priestly Celibacy (San Francisco: Ignatius Press, 1990), 9.
[2] ibid., 5.
[3] Dikutip oleh Paus Yohanes Paulus II, Pastores Dabo Vobis (“I Will Give You Shepherds”), no.29.

No comments: