Friday, June 03, 2005

3) Minggu Kedua Masa Biasa, 18 Januari 2004

“Tanpa Tuhan kita tidak dapat, namun tanpa kita Tuhan tidak akan”.

Minggu lalu adalah minggu kedua memasuki CTU dalam musim dingin ini. Memasuki minggu kedua, saya banyak melakukan tugas membaca buku sebelum menghadiri kelas. Meskipun saya merasa bosan dan malas, tapi mau nggak mau yah saya lakukan. Selain bacaan, saya harus melakukan sedikitnya 4 paper dalam bulan Februari dan 4 lainnya di bulan Maret. Semoga saya dapat melakukannya dengan baik.
Hari Selasa, 13 Januari, saya hadir di kelas Liturgi di lantai 6 gedung CTU, sebuah kapel. Dosennya memperagakan dan menjelaskan kepada kami banyak symbol di gereja katolik. Dalam suasana tenang dan meditasi secara khidmat, kami meng-indera symbol-simbol tersebut dan kemudian memberikan arti. Sore harinya saya masak: rending, soup ayam, rawon dan krupuk udang. Setelah makan malam, saya bertugas menjadi penerima tamu dalam dialog antar agama antara Muslim dan Katolik (Keuskupan Agung Chicago) yang diadakan di rumah kami di Hyde Park. Ada 13 tamu yang datang pada acara dua bulanan ini. Saya mencoba untuk menjadi pendengar yang baik dalam pertemuan ini karena hal-hal yang mereka bicarakan terlalu tinggi bagiku. Saya juga ditemani frater Xaverian lain yaitu, Adrian.
Hari Jumat, 16 Januari, bersama Victor, saya pergi ke Argyle, Chicago sebelah Utara untuk belanja bahan makanan Asia seperti bumbu instant Indonesia yang saya perlukan untuk masak. Untuk makan siangnya, kami pergi ke restaurant China buffet di Chinatown yang berharga $ 6,5 per orang nya. Sore harinya saya pergi ke CTU untuk memfotocopy beberapa artikel untuk kelas Pastoral Care saya kemudian saya ikut misa di lantai 8, kapel Pasionis pukul 5 sore. Biasanya setiap Jumat di komunitas kami mengadakan lectio divina (renungan kitab suci) bersama di pagi hari dan misa di luar.
Hari Sabtu pagi jam setelah misa di komunitas pukul 7.15, saya pergi ke CTU untuk kuliah pastoral care. Dalam kelas ini saya belajar bagaimana menjadi seorang pengamat, penolong dan yang ditolong. Pukul 3.30 sore saya pergi ke gereja katedral di pusat kota Chicago untuk sakramen rekonsiliasi. Cuaca cukup bagus, tidak terlalu dingin seperti biasanya. Dengan transportasi umum (CTA) yaitu kereta dan bis nomor 15 yang berhenti di depan rumah teologi Xaverian, saya menikmati hari rekonsiliasi ini dan berterima kasih pada Tuhan untuk pengalaman yang indah ini. Tidak seperti di rumah filsafat Jakarta dimana saya memiliki kesempatan untuk sakramen pengakuan dosa tiap bulannya dengan pastor Xaverian dari gereja Toasebio, di Chicago saya harus melakukannya sendiri, mencari waktu dan tempat yang sesuai bagi pertumbuhan rohani saya. Saya memiliki niat tahun ini untuk melakukan hal ini sebulan sekali dan saya percaya bahwa Allah selalu memberikan kekuatan dan ketekunan. Saya mencoba untuk tidak melupakan kebiasaan rohani yang baik yang saya pernah miliki di Indonesia karena di sini saya memiliki otonomi besat menghidupi hidup rohani dan panggilan saya. Dengan kebebasan dan otonomi saya dapat dengan mudah jatuh dalam kemalasan dan juga dengan kebebasan dan otonomi saya dapat tumbuh dengan nilai-nilai baik yang tertanam di dalam hidup saya. Oleh karena itulah saya berharap dan memohon doa dari seua teman saya karena saya sadar bahwa akan kelemahan dan dosa-dosa saya.
Hari Minggu seperti biasa saya pergi ke Gereja Santa Theresia di Chinatown dengan kendaraan umum (CTA). Setelah misa, ada kelas untuk sakramen krisma bagi anak-anak. Ada 12 anak yang hadir dalam pertemuan ini dimana Frater Petrus, sx melatih mereka untuk menjadi putra-putri altar di gereja. Mereka adalah kelas 6-7 SD. Kami dibantu pula oleh seorang suster novis RSCJ yang umurnya lebih dari 50 tahun. Di negara ini, Amerika Serikat, menjadi suster atau pastor dalam usia tua menjadi hal yang umum dan biasa. Suster Jane berasal dari Boston dan tinggal di komunitas RSCJ di Hyde Park- Chicago, tetangga saya. Saya senang dia bersama kami dalam program persiapan untuk sakramen krisma ini, semoga saya belajar bahasa Inggris lebih baik. Sore harinya, Petrus mengantar saya pulang ke rumah dengan mobil putih.
Minggu depan tanggal 25 Januari di gereja Santa Theresia ada misa perayaan tahun baru China. Pasti saya akan menulis tentang hal ini dalam journal edisi yang akan datang. Akhirnya, saya mau mengucapkan: GONG XI FA COI bagi anda sekalian yang merayakannya.

3) 2nd Sunday of Ordinary Time, January 18, 2004

“Without God we cannot,
But without us God will not”.

The last week was my second week entering CTU for this winter quarter. Entering the second week, I did many reading assignments before attending the class. Even though sometimes I fell bore and lazy but willy-nilly I did. Besides reading, I should do at least 4 papers in February and 4 others in March. Hopefully, I can make them as best I can.
On Tuesday, January 13, I attended Liturgy class in the 6th floor of CTU building, a chapel. The professor demonstrated and explained us about many symbols in the Catholic Church. In the silence and meditation solemnly, we sensed the symbols then gave the meanings. In the afternoon I cooked: “rending”, chicken soup, “rawon” and shrimp crackers. After supper, I was in charge to be a host of inter-religious dialogue between Muslim and Catholic (Archdiocese of Chicago) which was held in our house in Hyde Park. There were 13 guests coming to this bi-monthly event. I tried to be a good listener of this meeting since the matter they talked about was too high for me. I was accompanied by my Xaverian confrere, Adrian.
On Friday, January 16, with Victor, I went to Argyle, North-side Chicago to shop some Asian food like Indonesian instant ingredients that I need to cook. For lunch we went to China restaurant buffet which cost $ 6.5 per person in Chinatown. In the afternoon I went to CTU to make photocopy an article of my Pastoral Care class then attending mass at 8th floor, the Passionis chapel, at 5 p.m. Normally every Friday in my community we have lectio divina together in the morning then we can go out for mass.
On Saturday morning after having mass at my community at 7.15, I went to CTU for pastoral care class. In this class I learned how to be an observer, a helper and a helpee. At 3.30 p.m. I went to cathedral church in downtown Chicago to have confession. The weather was quite nice, not so cold as usual. By CTA red line train and bus number 15 which stopped in front of the Xaverian house I was enjoying the day of confession and thanking to God for this nice experience. Unlike in philosophy house in Jakarta where I had an occasion to have sacrament of reconciliation every month with Xaverian priests who came from Toasebio parish, in Chicago I have to do it myself, looking for time and place which proper for my spiritual growth. I have a resolution of it this year to do monthly and I believe God always gives me strength and perseverance. I try not to forget the good spiritual habit I had in Indonesia because in here I have so great autonomy nurturing my spiritual and vocation life. With liberty and autonomy I can easily fall in the laziness but with liberty and autonomy also I can grow with the good virtues embedded in my life. That’s why I always hope and ask prayer for all of my friends because I am aware of my weaknesses and sins.
On Sunday as usual I went to Saint Therese church in Chinatown by CTA. After mass, there was a confirmation class for children. There were 12 kids attending this meeting where Petrus trained them to be altar servers in the church. They are 6-7 grade. We’re helped also by Sister Jane, RSCJ, a novice who has age probably more than 50. In this country to be a nun or priest in the senior age are very common. Sister Jane is from Boston and now living in RSCJ community in Hyde Park – Chicago, my neighbor. I am glad to have her in the confirmation program, so I learn English better, hopefully. In the afternoon, Petrus took me home by white car.
Next week, on Sunday January 25, in Saint Therese Church there will be a Chinese New Year Mass. For sure, I will write about it next week in my coming journal. Finally, I want to say : GONG XI FA COI for all of you who celebrate it.



4) Minggu Biasa Ketiga, 25 Januari 2004


“Tak ada harapan untuk masa depan apabila
masa lalu tak diakui, tak diterima dan salah dimengerti”
(Henri J.M Nouwen)
Menjawab beberapa sahabat pena saya sejak minggu lalu saya telah menulis jurnal saya dalam dua bahasa; pertama dalam bahasa Inggris kemudian saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Saya butuh waktu lebih untuk mengerjakannya tapi saya telah memiliki komitmen untuk melakukannya secara teratur supaya mereka lebih mudah dalam mengerti tulisan saya disamping suatu motto yang selalu menjadi pemacu yaitu : “Kebahagiaan tidak pernah terpenuhi bila tidak dibagikan” (Happiness is not fulfilled if it is not shared).
Hari Senin, 19 Januari adalah hari libur nasional di Amerika Serikat memperingat Martin Luther King, Jr. Dalam komunitas teologi, kami mengadakan misa di pagi hari dengan mendengarkan beberapa cuplikan pidato Martin Luther King, Jr yang dibawakan oleh Alexis, kemudian kami mensharingkan pengalaman pribadi kami perihal keadilan sosial di negara kami masing-masing. Pukul 10 pagi dalam cuace salju yang dingin, Pastor Rocco, Alejandro dan saya memindahkan dua meja berat dan sebuah meja yang ringan ke rumah Maryknoll suster, masih di daerah sekitar Hyde Park. Di sore hari saya mendapat laporan hasil nilai kuliah saya di CTU dari studi quarter musim gugur lalu. Hasilnya lumayan bagus; Injil Yohanes dan Pengantar ke Etika Sosial dapat (A-) tapi sayang sekali matakuliah Problem tentang Allah tidak mendapatkan nilai karena tidak lengkap. Hal ini menuntut saya untuk bertanya kepada dosen kuliah ini apa yang harus saya lakukan selanjutnya. Nampaknya dia tidak pernah menerima tugas akhir saya yang sudah saya serahkan sebelum batas waktu terakhir di kotak suratnya di CTU. Syukur kepada Allah bahwa ia membantuku untuk tenang dan mengirim sekali lagi lewat pos ke alamat rumahnya di Indiana. Saya melakukan segera apa yang ia sarankan pada saya.
Pada hari Selasa, 20 Januari, saya menghadiri pertemuan di CTU untuk para mahasiswa M.Div (Master of Divinity) program membahas soal kursus Praktek pastoral (sebagai matakuliah). Kami menghadiri rapat selama dua jam dari jam 9 pagi hingga 11.15 untuk mengetahui sedikit matakuliah ini dalam kurikulum baru yaitu dengan system semester yang akan dimulai dalam musim gugur 2004. Pertemuan ini yang dibawakan oleh Avis, Dawn dan Opal berakhir dengan kesimpulan bahwa kita masih sedang dalam masa transisi dan proses menuju system kurikulum baru, maka beberapa pertanyaan belum siap untuk dijawab. Ada beberapa bidang pelayanan sebagai peluang bagi saya untuk memilih sebagai kuliah ‘kerasulan atau pelayanan’ selama setahun, 2004 – 2005. Saya perlu melakukan discernment atau semacam renungan untuk dapat memilih yang tepat bagi saya. Di malam hari jam 7.30, Pastor Rino dan Lupo datang mengunjungi komunitas teologi kami di Chicago dari sekarang hingga 30 Januari. Sejak dua tahun ini saya tidak berjumpa dengan Pastor Lupo. Terakhir kali saya bertemu dia di Jakarta selama pertemuan atau asemblea Xaverian di bulan November 2001.
Pada hari Rabu, 21 Januari, dalam perjalanan saya menuju tempat kuliah CTU, saya berhenti di rumah suster RSCJ, di South Blackstone, untuk memberikan sebuah buku untuk sakramen krisma kepada Suster Jane. Malam hari saya mendapat e-mail dari Babka, dosen matakuliah Problem tentang Allah, menjawab pertanyaan saya tentang tugas paper. Ia meminta saya untuk kembali mengirim lewat pos tugas akhir saya. Langsung saya mencetaknya dan siap untuk dikirim.
Pada hari Kamis, 22 Januari, kami mengadakan misa yang dipimpin oleh Pastor Lupo. Setelah sarapan, dari jam 8.30 hingga 9.40 pagi, saya memiliki kesempatan untuk wawancara dengan Pastor Lupo dan Rino berbicara dalam bahasa Inggris. Kemudian saya pergi ke kantor pos untuk mengirimkan paper saya ke Babka; semoga saja surat ini cepat sampai ke tujuan. Di CTU setelah mengikuti kuliah yang selesai jam 1 siang, saya bertemu dengan seorang suster dari Indonesia, Suster Betty (Elisabeth Tjahjadi) FMM. Ia adalah mantan provinsial FMM di Indonesia selama dua periode. Ia baru saja tiba di Chicago beberapa hari lalu dan sedang melakukan program tahun sabatikal hingga bulan Mei 2004. Kami bertemu bersama dengan Mateus, svd, dan Mbak Syafa di CTU. Setelah makan siang saya langsung mempersiapkan bahan makanan untuk dimasak buat makan malam. Kali ini kami memiliki jumlah lebih banyak dari biasanya karena ada beberapa tamu yang dating; jumlah semuanya ada 16 orang. Saya memasak seperti biasa yaitu rendang, nasi, tom yum sup dan kerupuk. Sebenarnya saya mencoba bumbu Vietnam yang baru saya beli minggu lalu di Agyle tapi sayang sekali tidak berhasil, kemudian saya mengubahnya dengan bumbu Indonesia. Beberapa tamu kami diantaranya adalah Pastor Adolph dan kedua temannya dari CTU, Pastor Michael dan Petrus dari Chinatown. Dari jam 7.30 hingga 9.40 kami mengadakan pertemuan komunitas bersama Pastor Lupo dan Pastor Rino.
Pada hari Jumat pagi setelah renungan kitab suci bersama dan sarapan, saya pergi ke CTU untuk mengikuti semacam seminar dengan tema Standard Professional yang dibawakan oleh seorang bruder, Jim Zullo, FSC. Seminar ini sungguh bagus. Sebagian besar dari presentasinya sudah pernah saya ketahui namun hal ini bagus untuk penyegaran, mengingat kembali dan memperbaharui hidup saya khususnya dalam bidang pelayanan baik sekarang maupun masa yang akan datang. Dari seminar yang berakhir hingga jam 4.30 sore, saya mendapat beberapa masukan seperti relasi dalam pelayanan, seksualitas dalam pelayanan dan bagaimana dapat hidup dengan baik dalam pelayanan kita. Akhirnya saya mendapatkan dua kalimat yang puitis, yaitu: “Tidak ada harapan untuk masa yang akan datang apabila masa lalu tetap tidak diakui, tidak diterima dan salah dimengerti”, “Jika kita takut akan seksualitas, kita juga takut (dlm arti negatif) akan Allah”. Pada jam 5 sore saya mengikuti misa di kapel lantai 8 gedung CTU. Setelah makan malam dan menyeterika baju, meskipun saya mengalami sedikit capek dan ngantuk, saya membaca bacaan yang perlu untuk kuliah pastoral care (counseling) hari Sabtu pagi.
Pada hari Sabtu, 24 Januari, kami mengadakan misa pagi jam 7.15 di komunitas yang dipimpin oleh Pastor Rino. Dalam suasana hujan salju saya berjalan ke CTU untuk mengikuti kuliah counseling dari jam 8.30 hingga 11.15. Sore harinya tiga frater Xaverian dari Milwaukee yaitu Ignas, Dharmawan dan Pascal diantar oleh rector mereka, Pastor Alfredo tiba di rumah teologi kami di Chicago untuk menghadiri misa tahun baru Cina pada hari Minggu, 25 Januari di paroki Santa Theresia di Chinatown-Chicago.
Pada hari Minggu, 25 Januari pagi, kami (Pastor Rino, Lupo, Ken dan 5 frater Xaverian, yaitu Alejandro, Ignas, Dharmawan, Pascal dan saya) pergi ke gereja Santa Theresia di Chinatown dengan bis dan kereta. Kami menghadiri perayaan tahun baru Cina di gereja ini yang dimulai dengan tarian barongsai dan suara ledakan petasan juga beberapa tarian Cina. Pada pukul 10 pagi kami mulai merayakan misa yang dipersembahkan oleh 7 orang imam dan dipimpin oleh Pastor Tim, seorang pastor Maryknoll Amerika yang dapat berbicara bahasa Canton dengan lancar. Misa ini sungguh istimewa dan spesial karena kami merayakan tahun baru Cina, 2555, tahun monyet. Gereja penuh dengan orang dari berbagai macam ras seperti orang bule Amerika, orang Cina baik berbahasa Mandarin maupun Cantonese, orang Indonesia, orang African American dan orang Amerika Latin bahkan para mahasiswa dari sekolah teologi CTU khususnya program IRF dimana Pastor Adolph, sx saat ini sedang jalani datang pula menghadiri perayaan ini. Tidak seperti tahun lalu, tahun ini saya mendapat lebih banyak angpao yaitu empat, satu dari pastor dan beberapa teman di paroki. Setelah selesai misa, beberapa orang berdoa bagi para leluhur mereka di depan altar. Pada siang harinya kami melanjutkan perayaan di auditorium sekolah Santa Theresia. Kami disuguhi pertunjukan beberapa tarian Asia seperti barongsai, tarian Korea dan tari Bali kemudian kami santap siang bersama dengan berbagai macam makanan Asia termasuk makanan Indonesia yang dimasak oleh Ibu Imelda Palmas. Sebenarnya, pada saat yang sama ada sebuah parade atau iring-iringan peringatan tahun bari Imlek di jalanan sekitar Chinatown, namun sayangnya saat kami keluar setelah selesai acara, parade ini sudah selesai. Pada pukul 2.40 sore, dalam cuaca dingin kami kembali ke rumah di Hyde Park dengan kendaraan umum. Ketiga frater SX dari Milwaukee yaitu Ignas, Dharmawan dan Pascal kembali ke rumah tercinta mereka di Milwaukee dengan kereta Amtrak jam 5 sore. Petang hari jam 7 kami di komunitas Hyde Park berdoa sore bersama di kapel dan kami memiliki intensi doa khusus yaitu mendoakan seorang frater Xaverian dari Indonesia yang ada di Mexico dan sedang sakit parah, leukemia, yaitu frater Setyawan. Untuk ujud doa ini saya juga secara khusus mohon dengan sangat kepada Anda sekalian untuk mendoakan kesembuhannya dan semoga ia selalu dikaruniai iman dan harapan yang kuat dalam menjalani saat-saat kritis ini.


“Jika kita takut akan seksualitas,
kita juga takut (dalam arti negatif) akan Allah”

4) 3rd Sunday in Ordinary Time, January 25, 2004
“No hope for the future when the past remain unconfessed, unreceived, and misunderstood”(Henri J.M Nouwen)
Responding to some of my penpals since last week I have been writing my journal on bilingual; firstly in English then I translate it in Indonesian language. It costs me extra time but I have commitment to do it regularly in order to make them easier to read it.
Monday, January 19, was a US national holiday of Martin Luther King, Jr. As theology community we had mass in the morning with listening to some speeches of Dr. Martin Luther King, Jr. which was presented by Alexis, then we shared our own personal experience regarding social justice in our country origins. At 10 a.m. in the cold-snow weather, Father Rocco, Alejandro and I removed two big-heavy tables and a light one to a Maryknoll sister house, still in the Hyde Park area. In the afternoon I got a student grade report from CTU (my theology school). They are pretty good; gospel of John and Introduction to Social Ethics (A-) but the problem of God is Incomplete (I), unluckily. It entailed me to ask the professor what I should do. It seemed that she didn’t accept my final paper which I have submitted before the dateline at her CTU mailbox. Thanks God she helped me to be calm and sending once via pos to her home address in Indiana. I did what she suggested to me immediately.
On Tuesday, January 20, I attended a meeting at CTU for M.Div students regarding Ministry Practicum course. We spent two hours, from 9 a.m. to 11.15 a.m. to know this course little bit in new curriculum system which will start in Fall 2004. The convocation which was presented by Aves, Dawn and Opal ended up with a conclusion that we’re still in the transition and process toward new curriculum system, so some questions were not ready to be answered yet. There are some opportunities that I should choose as my ministry course for one year, 2004-2005. I need to discern what will be apt to me. In the evening at 7.30 p.m., Fathers Rino and Lupo visited to our theology house in Chicago till January 30. Since two years I have not met Father Lupo. The last time I met him in Jakarta during the Xaverian assembly in November 2001.
On Wednesday, January 21, in my way to CTU, I stopped at RSCJ’s sister house, at South Blackstone, to give a confirmation book to Sister Jane. In the night I got e-mail from Babka, the Problem of God professor answering my question about my paper. She asked me to resend via pos my final paper. Directly, I printed it out and ready to be sent.
On Thursday, January 22, we had a mass which was presided by Father Lupo. After breakfast, from 8.30 to 9.40 a.m. I had an interview with Fathers Lupo and Rino speaking in English. Then I went to pos office to send my paper to Babka; hopefully it will arrive soon. At CTU after class at 1 p.m., I met an Indonesian sister, Sister Betty, FMM. She is a former of FMM provincial in Indonesia for 2 periods. She just arrived in this month and doing sabbatical year till May 2004. We met her together with Mateus, svd and Mbak Syafa at CTU. After lunch I directly prepared some food to be cooked for our supper. This time we had a bigger number than usual because there were some guests coming here; totally we were 16 people. I cooked as usual: rendang, rice, tom yum soup and crackers. Actually, I tried the new Vietnamese recipe that I bought from Argyle last week, but unluckily it seemed unsuccessfully, then I changed the food with Indonesian ingredient. Some of our guests were Father Adolph and 2 friends from CTU, Father Michael and Petrus. From 7.30 till 9.40 p.m. we had a community meeting with Fathers Lupo and Rino.
On Friday after lectio divina in the morning with community and having breakfast, I went to CTU for workshop with topic Professional Standard which was presented by Brother Jim Zullo, FSC. It’s very good one. Most of his presentation I have known but it is good for refreshing, reminding and renewing my life especially in the ministry field now and future. From this workshop that ended at 4.30 p.m., I got some insights such as ministerial relationships, human sexuality in the ministry and how to stay well in our ministry. Above all I got 2 poetic phrases: “No hope for the future when the past remain unconfessed, unreceived, and misunderstood”, “When we’re afraid of sexuality, we’re afraid of God”. At 5 p.m. I attended a mass at 8th floor of CTU building. After having supper and ironing my clothes, even though I felt quite tired and sleepy, I read the reading assignments of Introduction to Pastoral Care for Saturday.
On Saturday, January 24, we had a mass in the morning at 7.15 and Father Rino presided it. In the snowing season I was walking to CTU to have Pastoral Care class at 8.30 till 11.15 a.m. In the afternoon at 5.30 p.m. three Xaverian students from Milwaukee: Ignas, Dharmawan and Pascal were taken by Father Alfredo, their rector coming down to our theology house in Chicago in order to attend the Chinese New Year mass on Sunday, January 25 in Chinatown parish, Saint Therese.
On Sunday morning, January 25, we (Fathers Rino, Lupo, Ken, and 5 Xaverian students, Alejandro, Ignas, Dharmawan, Pascal and I) headed to Saint Therese Church in Chinatown by CTA both bus no. 15 and red line train. We attended Chinese New Year celebration in the church beginning with dragon dance and exploded firecrackers also some Chinese dances. At 10 a.m. we continued mass which concelebrated by 7 priests and presided by Father Tim, an American Maryknoll priest who speaks fluently Cantonese. This mass was special and extraordinary because we celebrate Chinese New Year 2555, Monkey year. The church was full of people from various races such as white American, Chinese both Cantonese and Mandarin, Indonesian, African American and Latin American, even the students from CTU especially the IRF program which Father Adolph, sx recently is undertaking were coming to this event. Unlike last year, this year I got four angpao (gift with the red envelope) from the priest and some friends in the parish. After mass some people were praying for their ancestor in front of the altar. At noon we continued the celebration in the auditorium of Saint Therese School. We were performed by some Asian dances such as dragon dance, Korean dance and Bali dance (Indonesia) then we had lunch together with various Asian foods including Indonesian food which was made by Ibu Imelda Palmas. Actually, at the same time there was a Chinese new year parade along the street, but unluckily it was over when we came out. At 2.40 p.m., in the cold weather we return home to Hyde Park by CTA. The three students from Milwaukee, Ignas, Wawan and Pascal returned to their lovely home by Amtrak train at 5 p.m. In the evening at 7 we had evening prayer together at chapel and we had special intention to pray for Indonesian Xaverian student who is in Mexico, enduring very painful disease of leukemia, Setiawan. For this supplication also I implore to you to pray for his healing and be granted strong faith and hope undertaking this critical time.

“When we’re afraid of sexuality, we’re afraid of God”

No comments: