MENINGKATKAN MUTU IMAM
UNTUK MILENIUM BARU
Oleh : Mgr. Timothy M. Dolan (Uskup Agung Milwaukee-Wisconsin [USA])
Ketika saya menjadi uskup pembantu di keuskupan St. Louis tahun lalu, saya tinggal di sebuah paroki yang menakjubkan yang secara khusus dihantam secara keras oleh skandal penyelewengan seksual oleh para imam. Pastor terpandang di paroki yang sedang mengalami permasalahan ini harus mengundurkan diri, mengakui peristiwa penyimpangan seksual yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Paroki ini tergoncangkan: banyak umat yang marah dengan imam karena dosa-dosa masa lalunya, banyak yang marah terhadap keuskupan agung menghendaki pengunduran dirinya.
Di tengah kesedihan, skandal dan ketergoncangan ini, pada suatu malam saya kembali ke pastoran, diberitahu oleh penerima tamu bahwa ada seorang anak lelaki SMU dari paroki ini yang sedang menunggu saya di ruang tamu. Saya masuk ke dalam, menarik nafas dalam-dalam, menduga dia akan melampiaskan kemarahan – atau lebih buruk lagi, bercerita tentang penyelewengan yang lain. Untunglah hal ini tidak terjadi, justru sebaliknya saya merasa sangat lega, setelah bertanya tentang pribadi mantan pastor di paroki ini, dan mengakui bagaimana imannya sendiri telah diuji di tengah skandal, ia menceritakan rahasianya pada saya bahwa ia sangat tertarik dengan panggilan menjadi seorang pastor. Ia menyebutkan bagaimana krisis dewasa ini telah memberikan inspirasi padanya untuk memikirkan panggilan ini, sebagaimana ia percaya bahwa sekarang lebih dari sebelumnya, Gereja membutuhkan imam-imam yang setia dan bersemangat.
Pemuda itu adalah seorang pembawa harapan sejati pada saya dan memberikan keyakinan kuat terhadap saya bahwa percobaan-percobaan dewasa ini adalah suatu kesempatan pemurnian dan pembaharuan bagi imamat dan Gereja. Kami yang adalah para imam ditantang untuk memulihkan kembali dan menegaskan kembali beberapa mutu yang esensial dalam panggilan kami, sifat khas yang harus juga jelas bagi para calon imam.
Pertama, para imam dan para calon imam haruslah seorang pria yang beriman kuat.
Seorang imam muda suatu kali berkata pada saya bahwa selama 8 tahun masa studinya di seminari, rektornya telah bertanya banyak hal mengenai studi, relasi dengan sesama, dan bahkan doa, namun tak seorang pun pernah bertanya apakah ia percaya kepada Allah. Kita dapat mengandaikan hal ini secara pasti sudah ada dalam dirinya, namun mungkin imam ini memiliki suatu maksud cukup mendalam. Kami para imam memerlukan iman kepada Allah, Putera-Nya, janji-janji-Nya, pewahyuan-Nya; suatu iman yang sederhana dan kekanak-kanakan, namun mendalam. Kami percaya dengan segenap hati dan jiwa kami bahwa Yesus menjaga janji-janji-Nya untuk bersama Gereja-Nya selama-lamanya, bahwa Ia mendengar doa-doa kita, bahwa Ia berkarya di dalam sakramen-sakramen, bahwa Ia telah memanggil kita untuk dibentuk serupa dengan-Nya dalam inti keberadaan kita. Tanpa suatu iman yang mendalam, segala yang lainnya adalah kepura-puraan.
Kedua, panggilan bagi para imam untuk menjadi kudus sesungguhnya adalah lebih mendesak daripada sebelumnya
Ketika saya menjadi Uskup Agung Milwaukee, seorang reporter yang bertujuan baik bertanya, “Sekarang Anda telah mencapai posisi tinggi di keuskupan agung ini, apakah ambisi Anda selanjutnya ?” Jawaban saya membuatnya heran, yaitu : “Ambisi saya tetap sama, yaitu menjadi seorang yang kudus”.
Maka, bagi seorang imam, prioritas tertinggi adalah memelihara relasi mendalam dan intim dengan Yesus. Kesatuan dengan-Nya ini – melalui doa, ekaristi, sakramen tobat, pertobatan hati yang berkelanjutan, dan mengejar keutamaan-keutamaan – yang tidak lain dan tidak bukan adalah kekudusan. Seperti Pastor Dominic Maruca, SJ, telah lama menghargai karya-karyanya bersama para imam, sering berujar : “Untuk berusaha tetap setia sebagai seorang imam tanpa adanya hubungan personal yang kuat dengan Kristus adalah cukup beresiko yaitu tidak lebih dari bunuh diri secara emosional dan spiritual”.
Ketiga, kami para imam harus memperoleh kegembiraan
Dewasa ini lebih daripada sebelumnya, terdapat percobaan yang ditakuti, keluhan karena ketakutan, kekhawatiran tentang masa depan, keresahan mengenai panggilan kita. Teristimewa pada saat sekarang ini kita memerlukan senyuman dari wajah kita yang terpancarkan dari sebuah ketentraman dan ketenangan hati. Saya yakin bahwa sebuah pencapaian kebahagiaan dalam imamat kita akan menjadi hal yang menarik bagi anak muda yang merasa terpanggil. Kita tidak bekerja untuk Enron; kita telah mempersembahkan hidup kita kepada Yesus dan Gereja-Nya, dan bahwa panggilan berharga memberi kita suatu kegembiraan yang tidak seorang pun dapat merebutnya. Seperti Leon Bloy mengamati, “Kegembiraan adalah tanda mutlak/sempurna dari kehadiran Allah” dan Santo Thomas Aquinas mengajarkan, kegembiraan terpancar dari keutamaan harapan, yang sungguh sangat kritis bagi kita di zaman ini.
Suatu kualitas terakhir yang akan saya tuntut dalam diri para imam adalah kita bertekun melalui masa kematian dan kebangkitan menuju kemurahan hati.
Anda dapat melihat, hal yang mudah adalah “memutar kendaraan” dan merasa menyesal terhadap diri kita sendiri, melakukan pemeriksaan terhadap Tubuh Mistik Kristus dan sebuah ujian (postmortem) terhadap imamat. Saat ini adalah saat untuk menghentikan upaya merenungi diri sendiri dan menghidupkan kembali kemurahan hati pastoral dimana Bapa Suci di dalam Pastores Dabo Vobis, tuntutan-tuntutan berada di dalam inti imamat. Seorang imam tua yang tidak ramah bercerita pada saya, “Setiap kali saya berkecil hati atau mulai merasa menyesal terhadap diri sendiri, saya pergi mengunjungi panti jompo. Hal ini mengubah sikap saya dengan cepat”.
Suatu hasil positif krisis masa lampau adalah kaum awam maju ke depan mempromosikan reformasi dan pembaharuan sejati dalam Gereja dan bersuara mempertahankan imamat yang mereka cintai. Baru-baru ini, dalam sebuah pertemuan di Keuskupan Agung Milwaukee, seorang pastor mengakui bagaimana umatnya telah membangkitkan hal terbaik dari dirinya selama bulan-bulan penuh kekacauan dan menjadi sumber harapan. Ia menyimpulkan dengan bercerita kepada kami, “Kapan pun saya mulai meragukan keefektifan saya sebagai seorang imam, saya akan membaca kartu-kartu natal yang dikirmkan oleh para umat kepada saya!”
Umat kita tidak memiliki “krisis identitas” terhadap peran, misi, dan pelayanan para imam. Mereka mencintai para imam; mereka menyadari bahwa iman mereka tidak bergantung pada keutamaan para imam melainkan pada kekuatan Kristus; mereka melihat diri para imam sebagai pembawa pesan, yang bertindak atas nama pribadi Kristus, yang membawa Sabda Allah dan menyalurkan rahmat sakramen-sakramen. Kaum awam kita memajukan apa yang paling berharga dan esensial alam imamat kami. Sementara mereka yang merasa pantas membenci klerikalisme, mereka menantang keimamatan kita, keutamaan yang memperhemat keunikan identitas imamat kita. Mereka memanggil kita “Romo”, dan mencari dari dalam diri kita, cinta kasih, perhatian, dan kebijaksanaan sebagaimana tersirat dalam panggilan “Romo” tersebut. Umat kita mengetahui bahwa imamat adalah lebih dari sekedar pekerjaan, sebuah profesi, karir, atau bahkan sebuah pelayanan; mereka mengetahui bahwa imamat adalah sebuah kehidupan, sebuah identitas, sebuah panggilan tetap yang mengubah keberadaan kita sesungguhnya.
Demikian pula umat kita mengundang kita untuk menyatakan kembali keunggulan rohani. Ya, imamat kita menghendaki bakat dalam mengajar, konsultasi, menajemen, membangun, dan berbicara, namun lahan yang luas bagi pelayanan kita adalah jiwa-jiwa. Beberapa tahun lalu, seorang uskup yang terkemuka mengingatkan para imam bahwa profesi lain seperti : psikolog, dokter, politikus, aktivis, guru, pekerja sosial – dapat membantu orang dalam bidangnya masing-masing jauh lebih efektif dari pada apa yang bisa kita lakukan sebagai imam. Apa yang diharapkan oleh umat dari para imam adalah Yesus, Injil-Nya, pesan-pesan-Nya, penyembuhan-Nya, rahmat-Nya. Kita memelihara jiwa-jiwa. Maka sudah selayaknya kita mencintai doa, ekaristi, pewartaan, sakramen, Kitab Suci, ajaran Gereja, keutamaan-keutamaan, dan pertumbuhan menuju kesempurnaan. Para awam kita mengingatkan kita bahwa jiwa-jiwa mereka memerlukan perhatian, perubahan, dan penghiburan, dan mereka mencari hal-hal ini dalam diri para imam.
Tepat sesudah saya dilantik menjadi Uskup Agung Milwaukee, direktur panggilan kami meminta apakah saya berkenan melakukan serangkaian siaran radio untuk mempromosikan panggilan. Saya sangat senang melakukannya saat itu. Dalam waktu seminggu CNN memanggil dan meminta saya wawancara mengenai iklan dan promosi tersebut. “Dalam hari-hari ini ketika imamat berada dalam serangan dan ‘sedang melarikan diri’”, reporter bertanya, “Tidakkah hal ini cukup berani dan nekat mengundang para kawula muda untuk berpikir menjadi imam ?” “Saya harap demikian”, saya menjawab, “Karena saat ini bukan saat bagi kami orang Katolik merangkak di bawah tempat tidur, namun memanjat ke atas atap dan meneriakkan keyakinan kami di dalam Kristus, Gereja-Nya, dan para imam-Nya”. Ya: Saat ini adalah saat bagi para imam untuk meraih kembali iman, kekudusan, kegembiraan, dan kemurahan hati mereka; saat ini adalah saat bagi umat sekalian untuk membantu kami memperoleh kembali identitas imamat kami dan menekankan kembali keunggulan rohaniah/spiritual.
(Diterjemahkan dari : Most Rev. Timothy M. Dolan, “Rising Up Priests for the New Millennium, hal 4-5” majalah Katolik “Lay Witness”, May/June 2003, Steubenville-Ohio [USA], oleh : Alexander Denny Wahyudi, sx).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment