Tuesday, June 12, 2012

Program Diet yang sungguh berhasil buatku...


PROGRAM DIET-ku:
Sejak 1 April 2012 lalu aku menjalankan diet khusus seperti di bawah ini. Sebenarnya ini bukan kali pertama aku jalani, tapi kali ketiga. Pertama kali aku pernah bereksperimen saat di Chicago, USA sekitar tahun 2005 hanya bertahan sekitar 3-4 bulan dan kali kedua sekitar 3 tahun lalu di Shimasaki, Kumamoto Jepang juga berlangsung hanya 4 bulan.
Kali ini juga, alhamdulilah sangat berhasil. Bagaimana tidak, per 1 April dulu aku yang punya tinggi 178 cm dan berat saat itu 97 kg dan lingkar perut 102 cm, setelah program diet kujalani dengan ikhlas dan penuh semangat, hasilnya:…..tinggi tetap 178, berat susut 12 kg menjadi 85 dan lingkar perut tadi pagi 85 cm (jadi susut 17 cm). Jas hitam yang kuterima hari ini 13 Juni 2012 sebagai hadiah dari Kishi Haru san umat paroki Tetori sini, diukur sejak 11 Mei lalu di Fukuoka, dan ternyata sangat pas setelah sebulan di hari ini. Meski ukuran pingganku pasti lebih susut banyak dibandingkan sebulan lalu.
Kunci keberhasilan program dietku:
1.     Makan sekali sehari apa pun yang disediakan di pastoran ini, kalau kurang yah habis itu makan snack, buah atau apa pun di kamar sendiri alias ngemil, tapi dikit aja gak banyak-banyak.
2.     Tiap hari minum teh ijo hangat2 bisa sampai 7 liter khususnya tiap pagi.
3.     Jalan kaki tiap pagi dari senin sd sabtu dari gereja tempat aku tinggal ke susteran untuk melayani misa, pp 20 menit kira2. (Dulu cuma bisa jalan kaki, sekarang bisa lari karena badan terasa lebin enteng dan terasa banyak energy di pagi hari). Selain itu juga di kamar sendiri, aku tiap pagi pulang dari susteran, fitness dengan sit-up pakai alat bantu karet yang bisa ditarik2 itu, stretching dan sekali2 sepeda-an sport di dalam kamar juga. Dengan cuaca panas seperti sekarang ini di Jepang sangat membantu aku mandi keringat.

Friday, November 04, 2011

The video of the Canonization of the founder of the Xaverian Missionary

Here is the links...

http://www.youtube.com/watch?v=UjpTcYkiRno

http://www.ktotv.com/videos-chretiennes/emissions/nouveautes/direct-de-rome-canonisation-de-3-bienheureux/00062104

Wednesday, October 19, 2011

Please watch the canonization of the Blessed Guido Maria Conforti on live and on line on Mission Sunday, 23 October 2011 at 10 a.m to 12 a.m. (Italian time), so in Japan will be at 17.00 to 19.00

Tomorrow morning on Friday, October 21st 2011, I will join the group of pilgrimage to Italy for the canonization of the founder of the Xaverian missionaries, Blessed Guido Maria Conforti that will be held in Vatican on Mission Sunday, October 23rd 2011 at 10 a.m to 12 a.m. local time of Italy. It will be on air and on line that can be watched on:

http://www.vatican.va/video/index.html

Saturday night, October 29th 2011, I will be arrivng at Kumamoto.

Besok dengan rombongan umat Jepang dari bandara fukuoka, saya akan berziarahke Italia dalam rangka kanonisasi pendiri Xaverian, Guido Maria Conforti menjadi santo di Vatikan yg diselengarakan hari Minggu misi sedunia, 23 oktober 2011 dan bisa ditonton on live dan on line di :
http://www.vatican.va/video/index.html
Tgl 29 Oktober 2011 malam sudah kembali di Kumamoto.


Sunday, October 02, 2011

Missionaris Xaverian di Jepang (Alexander Denny Wahyudi,sx)

Missionaris Xaverian di Jepang (Alexander Denny Wahyudi,sx)

Misionaris Xaverian mulai berkarya di Jepang sejak tahun 1949. Seperti misi-misi Xaverian di negara lain seperti di Indonesia, beberapa misionaris yang diusir dari tanah misi Cina mengalihkan misi mereka juga di negeri matahari terbit ini termasuk ketiga imam Xaverian berasal dari Cina. Di Jepang ada 34 imam Xaverian yang sekarang sedang berkarya di berbagai bidang diantaranya pastoral paroki dengan beberapa lembaga pendidikan Katolik Taman Kanak-kanak, tenaga pengajar di sekolah menengah dan universitas, karya seni, dialog antar agama dan pusat studi dan riset budaya (Asian Study Center) . Wilayah karya misi Xaverian di Jepang terbagi dalam dua zona yaitu Kansai meliputi Osaka (termasuk Takamatsu) dan Kyushu (Miyazaki, Kagoshima dan Kumamoto) yang masuk dalam 5 keuskupan yaitu Osaka, Takamatzu, Fukuoka, Oita dan Kagoshima. Kami sebagian besar tinggal dan berkarya di satu paroki dan setiap bulan (sekali atau dua kali) para Xaverian berkumpul bersama di masing-masing zona untuk pertemuan kekeluargaan, informasi atau pun rekoleksi. Dari ke-34 Xaverian ini ada 5 orang yang bukan berasal dari Italia yaitu 2 Spanyol, 1 Brasil, 1 Mexico dan saya sendiri dari Indonesia. Bahasa pengantar dan dokumen yang dipakai di kalangan Xaverian di Jepang ini adalah bahasa Italia maka sebelum tinggal di Jepang saya mendapat tugas mempelajari bahasa Italia di Ancona, Italia selama 10 bulan. Pengalaman belajar bahasa Italia ini yang pasti memberikan bekal tersendiri bagi saya untuk lebih memahami budaya dan bahasa leluhur serta asal keluarga Xaverian yang sekarang sudah mencakup keanggotaannya dari berbagai bangsa dan benua di dunia.

Gereja Katolik Jepang terbagi dalam 16 keuskupan dan semua uskup adalah orang Jepang sendiri dengan jumlah umat Katolik Jepang sekitar 450 ribu orang dan 500 ribu orang Katolik dari negara lain seperti negara-negara Amerika Latin, Philipina, Indonesia dan negara lainnya. Kalau saya ditanya apa kesan kehidupan gereja Katolik di Jepang? Biasanya saya jawab gereja Katolik di Jepang seperti gereja bonsai dengan jumlah umat yang sedikit, mayoritas ibu-ibu lansia dan rasanya sulit memberikan harapan cerah di masa depan kalau melihat situasi sekarang ini yang serba terbatas dalam sumber daya manusia. Ada satu keuskupan yang hanya memiliki umat Katolik sekitar 5.000 orang, kalau di Indonesia sejumlah ini hanya untuk satu paroki saja. Kebanyakan umat Jepang yang hadir dan aktif dalam kegiatan gereja telah berusia senja dan ini bisa terlihat juga dalam biara-biara para suster juga banyak yang berusia di atas 65 tahun. Situasi hidup menggereja di Jepang mengkondisikan satu imam menangani satu atau beberapa gereja sekaligus karena keterbatasan tenaga imam asli Jepang sendiri yang berjumlah hanya sekitar 500 orang (usia medium 62 tahun) dan terdapat sekitar 1.000 imam misionaris (usia medium 67 tahun) dari berbagai tarekat religius dan misi. Sedangkan satu gereja memiliki sedikit umat kalau dibandingkan dengan gereja-gereja di Indonesia. Di Jepang satu paroki memiliki rata-rata 100-800 orang saja sedangkan jumlah gereja dan paroki demikian banyak. Kalau dihitung ada sekitar 25 paroki yang dilayani oleh Xaverian. Hal ini mau tidak mau satu imam tinggal dan hidup sendiri di satu paroki yang relatif kecil itu. Ada usaha untuk membentuk satu komunitas hidup Xaverian namun melihat keadaan yang ada cukup sulit untuk diwujudkan. Paling tidak ada satu gereja di mana tinggal dua Xaverian yang menangani dua paroki atau lebih, atau seperti saya sendiri yang baru saja selesai studi bahasa Jepang sejak setahun lalu ditugaskan menjadi pastor pembantu di satu gereja terbesar di kota Kumamoto dengan pastor kepala parokinya seorang imam projo Jepang (70 tahun). Biasanya setelah menyelesaikan studi bahasa selama 2 tahun, seorang Xaverian ditugaskan menjadi pastor pembantu di satu gereja baik dengan pastor paroki Xaverian atau projo dan setelah dirasakan mampu berkarya sendiri setelah kurang lebih 5 tahun hidup di Jepang maka tiba waktunya diberikan tugas menjadi kepala paroki di satu gereja.

Apa yang menjadi tantangan bermisi di Jepang? Tidak diragukan bahwa Jepang adalah negara misi bagi misionaris karena sangat sedikitnya umat, sekitar 0.3 persen (450 ribu orang) dari 127 juta penduduk yang ada. Meskipun secara materi dan ekonomi berkelimpahan namun nilai-nilai Injil Yesus bagaikan tanah berbatu yang dikelilingi duri dan banyak benih-benih Kristiani yang pernah tersebar hilang dilahap oleh burung-burung yang memangsanya dengan cepat. Banyak hal yang ditiru dari budaya Eropa dan Amerika namun sayangnya nilai-nilai Kristiani yang telah pudar pula dari benua asal misionaris ini juga menular ke Jepang sehingga karya misi dewasa ini sangatlah sulit. Menurut laporan situasi misi di Jepang yang dituliskan oleh propinsial Serikat Xaverian di Jepang beberapa tahun lalu, tantangan misi di Jepang adalah:

1. Tantangan sejak awal adalah masalah budaya dan bahasa yang sangat berbeda yang menuntut ketelatenan dan kesabaran ekstra serta tekanan psikologis bagi misionaris asing bahwa dirinya tidak diterima dengan baik oleh orang Jepang dan kehadirannya tidak membawa banyak arti bagi perkembangan gereja lokal.

2. Kesadaran bahwa terdapat tragedi pengikisan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat yang berakibat pada bertumbuh pesatnya budaya materialistik yang berpusat pada motif ekonomi dan menjauhkan diri dari nilai-nilai spiritual dan hati nurani.

3. Di dalam gereja, kami kadang-kadang menemukan akibat negatif dari teologi “pluralist” yang terlalu menekankan karya Allah melalui Roh Kudus dan Sang Sabda yang telah ada dalam masyarakat, budaya dan agama yang ada di Jepang sehingga karya gereja hanya mendukung karya yang terbatas dan pewartaan Injil serta pentingnya pertobatan menjadi Kristiani tidak menjadi prioritas utama.

4. Dewasa ini, kelompok pastoral gereja dan permintaan beberapa keuskupan dengan keraguan dan ketidakpastian atau kurangnya kemampuan dalam kepemimpinan menjadi tantangan yang nyata bagi perkembangan gereja. Seorang imam misionaris berkarya tidak lebih dari seorang imam projo daripada mengembangkan karismanya sebagai misionaris. Berbagai macam tarekat misi dewasa ini secara terbuka berusaha mencari terobosan baru dalam karya pewartaan Injil sebagai karya utama mereka dan bagaimana karisma misi mereka dapat diwujudnyatakan dalam konteks misi di Jepang. Namun tanggapan para uskup tidaklah begitu menggembirakan karena kami diarahakan untuk tetap pada tugas dan karya kami di tempat yang telah ada. Lebih jauh lagi para uskup hanya mengharapkan bahwa para misionaris yang masih bisa bertahan dapat mengisi kekurangan imam projo yang semakin berkurang jumlahnya.

5. Kesulitan yang cukup berat lainnya adalah dalam hal keberadaan personel yang semakin menua dan sedikit tanpa tambahan tenaga baru yang berarti. Hal ini dapat menciptakan ketidakpastian di masa yang akan datang dan hampirlah tidak mungkin memberikan persiapan yang cukup untuk misionaris yang baru dan kesulitan dalam rotasi penugasan di pos dan karya baru. Ketidakpastian dalam hal jumlah misionaris yang siap sedia berpindah tugas dan seringnya rotasi pemindahan tugas dapat mengakibatkan karya misi yang telah ada sulit untuk terus dilanjutkan dengan baik. Kendala ini mau tidak mau membuat pengaturan tugas para misionaris ini terbatas pada apa yang sudah ada dan mencoba untuk tetap bertahan hidup daripada memikirkan pandangan ke depan dan rencana-rencana baru yang lebih sesuai dengan kehadiran dan kegiatan yang lebih sesuai dan konkret dalam situasi yang ada sekarang.

5. Kesulitan dalam pewartaan pertama. Jepang memiliki kebutuhan yang sangat mendesak dan menetap dalam pewartaan Injil pertama namun hal ini tidaklah mudah dijawab. Sayang sekali sangat sedikit orang Jepang yang tertarik dan mendekati gereja dan sedikit yang berkeinginan mendengarkan kami. Bagaimana kita dapat menjangkau mereka? Kita tidak boleh hanya menunggu mereka datang melihat kesaksian hidup kita. Kita hendaknya dapat belajar dari karya Santo Fransiskus Xaverius dan para misionaris awal yang buahnya memang dari awal sedikit hingga saat sekarang. Bagaimana kita dapat mewujudnyatakan jawaban atas tantangan ini dalam taraf pribadi dan komunitas?

Pengalam pribadi saya sebagai misionaris Xaverian dalam 3 tahun ini di Jepang.

Setelah saya menyelesaikan sekolah bahasa Jepang saya baik di YWCA (6 bulan) dan YMCA (1, 5 tahun), akhirnya saya mendapatkan tugas di satu paroki masih di kota Kumamoto yaitu Tetori dengan pastor kepala paroki seorang pastor projo, Pastor Makiyama yang berasal dari Nagasaki. Bagaimana saya bisa diterima di paroki ini? Cerita singkatnya, setelah 9 bulan tinggal di Jepang saya memberanikan diri untuk misa di gereja paling besar di Kumamoto dengan jumlah umat sekitar 800 orang ini. Saat saya minta ijin dari pastor Makiyama ini untuk ikut berkonselebrasi bersamanya dalam misa hari Minggu, malahan saya ditanya apakah saya bisa mempersembahkan misa dalam bahasa Jepang. Maka langsung saya jawab bahwa saya sudah biasa mempersembahkan misa harian saya dalam bahasa Jepang. Akhirnya dia malahan memberikan kesempatan buat saya untuk memimpin misa di hari Minggu dan dia yang berkhotbah. Suatu pengalaman yang tidak pernah terlupakan buat saya pribadi karena memang sebelumnya saya tidak pernah sama sekali mempimpin misa di hadapan umat Jepang apalagi di hari Minggu. Dengan terharu dan bangga saya dapat menjalankan tugas dengan baik di misa hari Minggu itu yang tentunya tata cara misanya semua dalam bahasa Jepang dan tulisan Jepang. Saya berpikir inilah hasil dari belajar saya sendiri dari bagaimana cara membaca tulisan Jepang dengan suara lantang baik buku misa bahasa Jepang, bacaan kitab suci harian dan hari minggu. Memang di sekolah dan di komunitas Xaverian tempat saya tinggal tidak ada yang memberikan pelajaran ini tapi dengan inisiatif sendiri saya dengan senang hati belajar sendiri. Sampai suatu saat ada satu suster FMM Jepang, Suster Nishioka yang berusia 85 tahun yang bersedia memberikan pelajaran bahasa Jepang buat saya khusus dalam membaca buku brevir bahasa Jepang. Setelah pengalaman misa pertama dalam bahasa Jepang itu, saya diminta oleh pastor paroki Tetori itu untuk mempersembahkan misa setiap minggu pertama tiap bulan untuk misa internasional yang sebenarnya adalah misa bahasa Jepang dengan beberapa lagu dan bacaan kedua dalam bahasa Inggris. Dengan senang hati pula saya menjawab undangannya termasuk makan siang setelah misa di restaurant dekat gereja yang terletak di pusat kota Kumamoto ini. Suatu saat pastor kepala paroki ini memberikan tawaran buat saya bahwa setelah selesai sekolah bahasa Jepang selama 2 tahun, kalau saya bersedia saya diperbolehkan tinggal dan membantu di paroki Tetori ini. Hal ini saya sampaikan kepada pimpinan Xaverian di Jepang dan dengan inisiatif dari propinsial saya ini akhirnya saya “dititipkan” atau diutus ke paroki ini setelah genap saya belajar bahasa Jepang 2 tahun. Dengan senang hati pula saya menjalankan tugas perutusan ini meskipun awalnya agak terkejut juga karena secepat itukah saya harus bermisi.

Saat ini genap setahun saya tinggal di paroki Tetori ini yang memiliki pastoran baru dua lantai yang baru selesai direnovasi 2 tahun sebelumnya. Di samping gereja ini ada sebuah hotel menjulang tinggi yaitu Hotel Nikko Kumamoto. Kalau saya bandingkan dengan kamar hotel ini, saya kira kamar saya masih lebih luas dan nyaman. Inilah rahmat yang nampak dari apa yang saya sedang jalani sekarang ini. Seumur-umur saya baru pertama kali ini memiliki tempat tinggal dengan sebuah kamar pribadi yang sangat luas dan baru lagipula tiap sabtu pagi ada yang membersihkan. Awalnya saya merasakan tidak layak karena saya sudah terbiasa tinggal di kamar yang kecil atau bersama konfrater lain saat di Indonesia atau tempat saya tinggal sebelumnya. Namun lambat laun saya terbiasa dengan situasi dan fasilitas yang tersedia sebagai berkat tersendiri dari Tuhan dan umat yang penuh perhatian pada gereja. Karena ini rahmat Tuhan semata, jadi suatu saat apabila saya harus berpindah mungkin di tempat yang lebih kecil dan lebih tidak nyaman dari tempat sekarang, saya harus siap juga menerima dengan lapang dada. Inilah gaya hidup sebagai hamba yang siap sedia menerima apa yang disedikan oleh gereja setempat di mana saya akan ditugaskan kelak. Yang terpenting adalah bukan hal yang nampak lux atau nyaman tapi bagaimana saya harus bisa selalu mensyukuri apa yang tersedia dan bagaimana saya bisa melayani umat dengan penuh semangat dan cinta.

Selama setahun saya di paroki Tetori ini saya mendapatkan beberapa tugas dari pastor paroki seperti misa harian di susteran tiap pagi jam 6 dari hari senin-sabtu dan juga misa hari minggu. Saya pun ditugaskan mengepalai para guru sekolah minggu bina iman di paroki ini. Di hari Minggu juga saya mengajar anak-anak kelas 5 ke atas yang berjumlah sekitar 8 orang. Sekolah minggu ini diikuti oleh untuk anak-anak yang kebanyakan adalah memiliki ibu berasal dari Philipina dan beragama Katolik yang menikah dengan orang Jepang. Sejak 4 bulan lalu saya mengajar satu katekumen, seorang ibu dengan satu anak berusia hampir 3 tahun, dalam bahasa Jepang. Dalam hal sakramen dan sakramentalia saya baru kali ini sebagai imam setelah 4 tahun ditahbiskan, menjalankan tugas pastoral secara penuh seperti pemberkatan rumah, sakramen pengurapan orang sakit, misa dan ibadat untuk orang meninggal, pembaptisan, sakramen pengakuan dosa, perkawinan, komuni pertama dan seterusnya. Di samping melayani umat Jepang saya juga mendapatkan tugas memimpin misa bahasa Inggris di satu gereja lain yaitu Musashigaoka setiap hari Minggu ketiga jam 2 siang yang kebanyakan dihadiri oleh umat Philipina (sekitar 20-30 orang). Tidak hanya tugas pastoral gereja ini saja, bulan lalu pun saya mendapatkan surat tugas dari keuskupan Fukuoka untuk menjadi anggota dari dua komisi kategorial dari keuskupan yaitu Komisi untuk migran dan orang asing dan komisi asosiasi perawat Katolik. Untuk masa depan mungkin akan lebih banyak aktivitas dan agenda buat saya dalam karya dan kegiatan komisi-komisi ini dan juga tugas parokial gereja Tetori ini. Memang kalau dibandingkan dengan kegiatan pastoral di satu gereja di Indonesia, di Jepang tidaklah sesibuk dan sebanyak di Indonesia karena situasi gereja Jepang memang tergolong “mini” atau “bongsai”. Justru di situlah tantangan buat saya sebagai misionaris untuk dengan aktif dan proaktif menggunakan waktu dan kesempatan yang ada sehingga hidup meggereja umat lebih maju. Namun saya juga yakin bukan hanya sekedar aktif saja tapi bagaimana saya tetap bersemangat dan menghidupi apa yang ada di sini. Karena saya berusia muda, 37 tahun, maka banyak umat yang adalah ibu-ibu lansia termasuk pastor paroki selalu berkata bahwa saya masih muda dan masih memiliki harapan panjang dalam hidup ini. Saya merasakan bahwa mereka semua adalah orang tua saya, saudara-saudari saya yang hidup di sekitar saya ini. Benar yang dikatakan Yesus dalam Injil mereka yang bersedia meninggalkan keluarganya dan asalnya demi pelayanan Kerajaan Allah akan mendapatkan berlipat ganda, demikianlah apa yang saya alami saat ini. Di Jepang saya tidak memiliki keluarga karena memang keluarga saya semuanya tinggal di Indonesia namun keluarga Xaverian di Jepang dan juga umat semuanya adalah keluarga saya yang selalu memberikan perhatian dan cinta mereka secara pribadi dan tersendiri buat saya.

Hal yang membuat saya bersemangat adalah bisa bertemu dengan umat setelah selesai misa khususnya di depan gereja memberikan salam dan senyuman sebagai tugas saya. Memang kebanyakan adalah umat Jepang lansia namun juga ada beberapa orang asing seperti Philipina, Argentina, Inggris, Amerika, Mexico, Venezuela, Vietnam, Papu Nugini, Italia, India, Polandia, bahkan Indonesia. Beberapa dari mereka adalah pelajar yang sedang studi lanjut di beberapa universitas di Kumamoto ini. Setidaknya ada 5 umat Indonesia yang juga ikut misa di gereja ini yang sedang studi lanjut di Universitas Kumamoto. Di Universitas Kumamoto sendiri tiap tahun semakin banyak pelajar dari Indonesia yang melanjutkan studi mereka. Mereka kebanyakan berasal dari beberapa universitas negeri di Indonesia yang mendapatkan beasiswa lanjut S-2, S-3 dan program –program studi lainnya. Mungkin ada lebih dari 50 orang mahasiswa Indonesia ada di Kumamoto ini. Maka tidak heran ada satu toko Indonesia yang menjual bahan dan bumbu makanan bukan hanya untuk orang Indonesia tapi juga umat Muslim dari berbagai negara lain. Pemilik toko ini adalah Pak Marlow seorang muslim asal Bogor, Indonesia yang menikah dengan orang Jepang. Yang pasti kerinduan saya akan makanan Indonesia dapat terobati dengan belanja dari toko ini dan masak sendiri masakan Indonesia, bahkan buah durian yang tidak dijual di toko biasa Jepang, akhir-akhir ini saya bisa menikmatinya. Meskipun makanan Jepang selalu menjadi menu harian buat saya tapi sekali-sekali menikmati masakan sendiri ala Indonesia juga memungkinkan di Kumamoto ini.

Satu hal lagi yang membuat kenangan indah buat saya adalah di akhir studi bahasa Jepang di YMCA Kumamoto, saya juga terpilih mengikuti kontes pidato bahasa Jepang yang hasilnya memuaskan buat saya. Televisi lokal Kumamoto pun sempat menayangkannya dalam berita. Event ini genap setahun lalu dan bisa disaksikan di http://www.youtube.com/watch?v=CBb6MnRuVYI Dalam “speech” ini pula saya menyampaikan pesan “Injil” yaitu dengan judul Cinta kasih keluarga atau “Family no Ai” (FAMILY の 愛) , dengan akronim F-A-M-I-L-Y (Father And Mother I Love You) ini mampu membuat pemirsa tergugah karena kebanyakan baru kali pertama mereka mengetahui hal ini. Dalam pidato yang berlangsung tanpa teks karena memang harus dihafal dan dihayati, selama 9 menit, saya menyatakan, “mencintai dan dicintai sebagai manusia memberikan makan yang tertinggi dalam hidup ini”, dalam bahasa Jepangnya “hito wo ai suru koto, hito kara ai sareru koto wa, yo no naka de, ichiban utsukushii koto desu” (人を愛すること、人から愛されることは、世の中で一番美しいことです。) Selain itu ada satu blog saya yang menyimpan banyak kenangan indah dalam bentuk blog, foto dan suara rekaman saat saya mempersembahkan misa bahasa Jepang serta beberapa video lain yang dapat diakses di:

http://acdw74.multiply.com

Dalam rangka kanosiasi pendiri Xaverian, Santo Guido Maria Conforti, dari Jepang sekitar 100 lebih umat termasuk 8 Xaverian dan 3 uskup Jepang turut berpartisipasi dalam rombongan ziarah ini. Saya pun termasuk dalam perisitiwa agung penuh syukur ini yang akan berangkat tanggal 21 Oktober dan kembali ke Jepang tanggal 29 Oktober. Dalam hari-hari penuh rahmat di Italia ini nanti yang pasti saya dapat bertemu dan reuni dengan banyak Xaverian dan sahabat yang telah saya kenal selama ini baik di Italia sendiri maupun dari USA. Menurut berita dari SX Flash Xaverian, event kanonisasi ini dapat disaksikan di internet on line dan siaran “live” waktu Italia hari Minggu, 23 Oktober 2011 pukul 10.00 -12.30 pagi di http://www.sat2000.it/diretta.html

Kisah hidup sang pendiri Serikat Misionaris Xaverian pun juga diabadikan dalam bentuk video bahasa Indonesia yang dibuat oleh Pastor Otello Pancani, sx. Dengan ijin beliau saya memposting video-video ini di youtube dan bisa ditonton di http://www.youtube.com/watch?v=0zYwvrFouZU atau

http://www.youtube.com/watch?v=2jtrrLVpD10 dan

http://www.youtube.com/watch?v=jgk8uOq1wno

Selamat mencoba.

Demikianlah kisah pengalaman saya di Jepang yang bisa saya bagikan. Kalau ditanya sampai kapan tinggal dan bermisi di Jepang, saya selalu menjawab bahwa saya siap untuk sampai kapan pun karena biasanya Xaverian yang tinggal di Jepang bisa sampai lanjut usia bahkan sekarang ada 12 Xaverian di Jepang yang berusia di atas 70 tahun. Jadi buat saya tugas di Jepang, di Indonesia atau di negara lain pun, asal masih tetap menjadi anggota dari keluarga Xaverian, saya siap. Dewasa ini juga Xaverian bercorak internasional karena anggotanya ada yang berasal dari negara-negara selain Italia. Maka di awal tahun 2013 nanti akan ditugaskan pula seorang Xaverian berasal dari R.D. Congo, Afrika yang pasti akan memberikan corak internasional untuk Xaverian di Jepang ini karena baru pertama kali Xaverian mengirimkan misionarisnya dari Afrika demikian pula saya adalah Xaverian pertama berasal dari Indonesia. Siapa lagi yang menyusul dari Indonesia bermisi di negeri sakura ini, saya siap menunggu dan membantu…

Untuk melihat sedikit tentang misi Xaverian di Jepang bisa dibuka http://www.rinku.zaq.ne.jp/xaverians/index.htm

Friday, April 03, 2009

Pengalaman 8 Bulan di Jepang (3 Agustus 2008 – 3 April 2009)

Pengalaman 8 Bulan di Jepang (3 Agustus 2008 – 3 April 2009)
P. Alexander Denny Wahyudi, S.X.

Bahasa Jepang
Sejak dari Italia saya sudah mencoba mencicipi nuansa bahasa Jepang yang terkenal sulit ini. Dari internet saya mendapatkan banyak pelajaran bahasa Jepang gratis selain beberapa buku yang saya beli saat itu. Perkenalan saya akan pelajaran bahasa Jepang ini menjadi nyata ketika saya menemukan sebuah Injil Lukas berisi beberapa bahasa termasuk bahasa Jepang. Karena saya sudah belajar bagaimana cara membaca tulisan Jepang, yaitu Hiragana dan Katakana maka dengan Injil Lukas yang saya temukan ini membuat saya terpacu untuk membaca dan membaca tulisan Jepang ini. Memang tulisan bahasa Jepang terdiri dari tiga macam tulisan yaitu Kanji, Hiragana dan Katakana. Dalam Injil yang saya temukan itu terdapat tulisan Kanji Jepang yang memiliki furigana alias huruf Hiragana di samping tiap Kanji, maka meskipun saya tidak tahu banyak arti dari kata-kata Jepang itu namun tiap hari saya latihan membaca dalam hati tulisan-tulisan itu. Setiba di Jepang bulan Agustus 2008, saya sangat bersemangat untuk mencoba melihat dan membaca tiap tulisan Hiragana dan sedikit Kanji yang sudah saya pelajari sendiri saat di Italia. Sungguh suatu pengalaman yang sangat menyegarkan di awal hidup saya di Jepang ini. Kendati Nihongo (bahasa Jepang) ini sulit namun bila dipelajari dengan baik dan sistematis maka lambat-laun pasti bisa dikuasai.
Selama 1,5 bulan saya diberikan waktu bebas untuk menikmati banyak tempat indah baik di Osaka dan Pulau Kyushu di mana Xaverian berkarya. Mulai pertengahan September 2008 saya mulai sekolah bahasa Jepang di YWCA (Youth Women Christian Association) Kumamoto. Metode sekolah ini adalah privat dan saya tidak belajar dengan murid lain namun hanya berdua dengan konfrater saya yaitu Felipe Lopez asal Mexico. Tiap minggu 4 kali kami belajar di sekolah yang berjarak sekitar 5 km dari paroki Shimasaki, Kumamoto. Setiap pertemuan hanya dua jam dari jam 10 s.d. 12 siang. Jadi dalam satu minggu hanya 8 jam di sekolah. Buku yang digunakan adalah Minna no Nihongo yang langsung dari awal selalu tertulis dalam tulisan Jepang, Hiragana dan Kanji. Membandingkan pengalaman belajar bahasa di Amerika Serikat dan di Jepang ini maka saya langsung tidak puas dengan sekolah yang saya punya di Jepang ini. Bagaimana tidak? Belajar bahasa Inggris yang sudah saya pelajari sejak di bangku SMP lalu di Amerika saya belajar khusus saja seminggu bisa 25 jam namun belajar bahasa Jepang yang belum banyak saya pelajari cuma 8 jam seminggu. Sungguh suatu kemunduran bagiku. Namun karena saya orang baru dan harus menuruti apa yang sudah diputuskan dan ditentukan oleh pimpinan jadi saya mengikuti apa adanya. Sampai di awal Januari saya mencoba mengunjungi satu sekolah bahasa Jepang lain yang terkenal lebih berbobot yaitu YMCA (Youth Men Christian Association) Kumamoto. Dari kunjungan saya ini membuahkan hasil sampai suatu saat pimpinan saya di Jepang ini memberikan kesempatan buat saya untuk mencoba ikut tes masuk bulan Maret lalu dan diterima dengan baik. Maka, sungguh suatu perjuangan yang membuahkan hasil. Syukur kepada Tuhan bahwa saya diperkenankan masuk sekolah baru ini yang akan mulai 13 April 2009 nanti dengan kontrak selama dua tahun penuh. Kebalikan dengan sekolah sebelumnya, sekolah baru ini lebih menekankan persiapan para muridnya untuk menguasai banyak hal termasuk tes masuk ke perguruan tinggi di Jepang. Aspek budaya dan peraturan yang ketat turut menjadikan YMCA ini suatu pilihan yang sangat tepat buat saya pribadi. Mohon doa dari para konfrater dan saudara sekalian semoga dengan semangat yang sama saya terus belajar dengan baik di sekolah baru ini.
Sejak awal saya tinggal di Jepang saya sudah mencari buku-buku yang bisa dipakai untuk doa dan misa harian dalam bahasa Jepang. Jadi, praktis saat saya pindah di Kumamoto sejak September 2008 saya selalu memimpin misa saat saya giliran dengan bahasa Jepang, dengan tulisan Jepang namun tanpa umat karena dalam misa harian. Sejak awal pula pastor paroki di sini memberikan nasehat agar kami bersabar dengan bahasa Jepang dan diperbolehkan memimpin misa dengan umat setelah setahun di Jepang. Namun secara pribadi saya memulai sendiri belajar membaca tulisan misa bahasa Jepang dan memakaianya setiap hari baik dalam misa maupun doa Rosario. Alhasil, apa yang sudah saya jalankan sejak awal membuat saya makin percaya diri bahwa saya bisa membaca tulisan Jepang dengan baik. Banyak fasilitas untuk belajar bahasa Jepang yang saya miliki seperti komputer Fujitsu yang sejak awal dihadiahkan bagi saya saat saya tiba di Jepang. Komputer dengan sistem Jepang ini membuat saya sangat antusias mengenal tulisan Jepang dan bagaimana mengetik tulisan Jepang. Alkitab seluruhnya dalam bahasa Jepang saya dapatkan baik dari buku Alkitab maupun software di komputer dan juga audio. Sungguh suatu bahan yang sangat mendukung. Sejak awal tahun 2009 saya diberikan buku misa harian lengkap dengan doa-doa misa dan bacaan misa harian dalam tulisan Jepang. Buku ini membuat saya lebih bersemangat untuk mempelajari sendiri bagaimana membaca tulisan Jepang dengan bantuan komputer dan juga kamus elektronik yang juga saya beli sejak awal. Tidak puas dengan membaca misa dalam tuisan Jepang yang ada furigananya, saya mulai menghafalkan dan mendaftar semua Kanji dalam misa dan akhirnya saya berani menggunakan buku misa kecil tanpa furigana, jadi berupa Kanji Jepang yang semakin saya kenal karena tiap hari saya baca. Setelah mengenal bagaimana sistem penggunaan buku misa saya memberanikan diri membeli satu buku besar berisi doa dan bacaan misa lengkap untuk sepanjang tahun yang mencakup tahun A, B dan C yang berjudul “Mainichi no Misa”. Setelah belajar bahasa Jepang dari sekolah, maka saya memberanikan diri untuk mendekati umat tiap hari Minggu dan praktek bicara dengan mereka setelah selesai misa. Sungguh suatu perjuangan yang harus terus diasah karena apa yang saya pelajari dari sekolah berbeda dengan kosa kata harian dalam percakapan. Ke mana pun saya pergi saya sudah berani bertanya dan berjalan sendiri dengan kemampuan bahasa Jepang apa adanya. Di bulan Januari saya berani pergi ke Osaka sendiri dengan naik bis dari Kumamoto. Saya membawa sepeda lipat saya dan berani mencari alamat teman saya di Osaka dengan bertanya-tanya kepada banyak orang di sepanjang jalan saat saya tersesat. Suatu kepuasan tersendiri ketika saya akhirnya bisa menemukan alamat teman saya itu. Fasilitas lain yang saya gunakan untuk belajar bahasa adalah internet terutama Facebook yang dapat digunakan untuk merekam video langsung dari webcam dan laptop. Saya merekam banyak video yang isinya pelajaran bahasa Jepang atau doa Rosario dan misa serta bacaan Injil Mingguan dalam bahasa Jepang dan bahasa-bahasa lain.
Selain pelajaran bahasa Jepang di sekolah resmi di atas saya juga menemukan melalui Internet satu tempat khusus yaitu Kumamoto International Center untuk belajar bahasa Jepang gratis. Sejak akhir Januari saya datang ke tempat studi ini dan ada beberapa guru bahasa Jepang yang dengan sukarela mengajar secara privat atau pun berkelompok. Tiap Rabu dan Minggu saya sudah beberapa kali mengikutinya dan bertemu dengan banyak teman dari negara lain seperti Cina, Korea, Philipina dan Indonesia tentunya. Tiap pertemuan berlangsung selama dua jam dan boleh belajar 4 jam dalam sehari dalam jam yang berbeda. Kalau dari awal saya tahu akan hal ini saya pasti memanfaatkannya dengan baik. Namun karena sudah di akhir Januari saya baru tergugah untuk mengikutinya berkat pencarian sendiri maka sudah agak terlambat. Lagi pula sekolah baru saya nanti sudah banyak menuntut perhatian dan waktu yaitu di YMCA Kumamoto yang selalu memberikan ujian harian dan ujian kenaikan tingkat. Maka waktu dan perhatian saya akan tersita untuk studi ini dan barangkali tidak lagi datang ke sekolah bahasa Jepang gratis di Kumamoto International Center itu.
Selain itu saya juga mendaftar di YMCA Kamitori di Kumamoto juga untuk mendapatkan satu partner orang Jepang yang memberikan kesempatan face to face bicara dan bercakap dalam bahasa Jepang. Kesempatan ini gratis dan saya tinggal menunggu kabar dari pihak YMCA Kamitori setelah mereka mendapatkan satu volunteer mereka akan menghubungi saya dan tiap minggu dapat bertemu sekali selam satu jam. Volunter yang ada biasanya adalah calon guru bahasa Jepang. Saya masih terus berharap mendapatkan kabar segera dari yang satu ini.
Intinya belajar bahasa Jepang memang sangat menyenangkan kalau kita tahu bagaimana metode, cara, kesempatan dan link yang membuat kita terus terpacu untuk ingin tahu. Dan ini semua sudah saya coba sedemikian rupa sehingga akhirnya saya mendapatkan sekolah bahasa Jepang yang sungguh sangat intensif yaitu YMCA Kumamoto. Saya berharap dengan sekolah baru ini nanti saya dapat menguasai bahasa Jepang dengan lebih lengkap bukan hanya tata bahasa saja tapi juga gaya hidup dan budaya Jepang serta mengenal banyak teman dari berbagai bangsa terutama dari Cina memberikan kesempatan emas bagiku untuk memberikan kesaksian nyata secara Kristiani dan juga sebagai orang Indonesia yang memiliki darah Cina juga namun sama sekali tidak berbahasa Cina.

Hidup Komunitas
Xaverian yang berkarya di Jepang saat ini ada 34 orang yaitu 2 dari Spanyol, 1 dari Brasil, satu dari Mexico dan saya sendiri dari Indonesia. Kami yang sedang belajar bahasa Jepang ini tinggal di satu paroki kecil di Shimasaki, Kumamoto dengan pastor kepala paroki, Danilo Marchetto, S.X. (56 tahun) yang sudah berada di Jepang selama 20 tahun dalam dua periode berbeda. Terkenal di Jepang bahwa tiap Xaverian biasanya hidup dan berkarya sendiri di paroki-paroki kecil. Dan hal ini benar adanya namun tiap bulan ada pertemuan rutin di antara Xaverian di dua zona berbeda yaitu Osaka di sebelah Utara di rumah regional Xaverian di Izumi Sano, Osaka dan kami semua yang berada di Selatan yaitu Pulau Kyushu termasuk Kumamoto berkumpul di rumah Xaverian di Ehira, Miyazaki.
Gaya hidup di Jepang sungguh sangat nyaman dalam fasilitas dan materi namun gaya kemiskinan tetap menjadi hal yang patut diperjuangkan karena banyak tawaran teknologi dan banyak hal lain yang bisa didapat dengan mudah. Bagaimana tidak? Sejak awal tiap anggota Xaverian mendapatkan tiap bulannya stipendium dari pihak Xaverian di Jepang melalui kantor pos yaitu tabungan atas nama saya pribadi. Sampai saat ini apa yang saya terima lebih dari cukup dari yang saya butuhkan. Yang pasti uang ini dipakai untuk biaya hidup tiap bulan. Dari awal pula saya sudah diminta untuk mencari SIM mobil namun saya belum merasa fasilitas mobil ini saya butuhkan di samping saya harus membutuhkan banyak latihan dalam mengendarai mobil, saya tetap semangat menggunakan sepeda sebagai transportasi harian saya terutama ke sekolah yaitu 20 menit sekali jalan. Lagi pula pihak sekolah bahasa Jepang saya yang baru yaitu YMCA, melarang muridnya mengendarai mobil pribadi ke sekolah maka saya sangat puas dengan bersepeda yang menjadi kebiasaan sejak di Indonesia.
Sejak 1,5 bulan lalu saya mengenal beberapa teman Indonesia di Kumamoto ini. Mereka adalah para mahasiswa studi lanjut untuk dosen-dosen dari berbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia. Mereka belajar di Universitas Kumamoto dalam program doktoral, master dan juga post-doktoral. Mereka biasa tinggal bersama keluarga mereka di Jepang yaitu anak dan isteri mereka. Ada sekitar 15 mahasiswa Indonesia di Kumamoto ini. Dari perkenalan dengan teman-teman Indonesia ini saya akhirnya mengetahui toko Indonesia yang menjual bahan-bahan makanan dari Indonesia. Maka saya membeli indomie, bumbu-bumbu instant yang sangat berguna untuk masak makanan Indonesia di komunitas saya sekali-sekali. Pernah sekali saya masak nasi kunig, rendang padang, krupuk dan rempeyek serta kacang ijo. Dengan para mahasiswa Indonesia ini pula saya diajak berpartisipasi dalam menari poco-poco untuk ditampilkan di Kotsu Center, dekat terminal bis Kumamoto. Hanya berlatih dua kali hari Sabtu akhirnya saya pun bisa menari poco-poco. Satu pengalaman pertama dalam hidupku bahwa aku bisa menari poco-poco, biasanya selalu saya menghindar kalau ada tarian poco-poco karena memang tidak hafal.

Pengalaman Pastoral
Saya dipercaya untuk memimpin misa bahasa Inggris tiap minggu ketiga di gereja Musashigaoka di mana berkarya Pastor Renato Filippini, S.X. Yang hadir dalam misa bahasa Inggris kebanyakan adalah para ibu muda Filipina yang menetap di Jepang. Mereka datang bersama anak-anak mereka dan mayoritas suami mereka adalah orang Jepang yang bukan Katolik. Biasanya sekitar 40-50 an orang hadir dalam misa ini. Meskipun saya sudah bisa membaca misa dalam bahasa Jepang dengan tulisan Jepang namun saya belum diberi ijin oleh pastor paroki di sini. Namun sejak awal masa Pra-paskah 2009 ini saya diberi ijin untuk memimpin doa jalan salib di paroki yaitu di kapel kecil gereja Shimasaki ini dalam bahasa Jepang. Namun karena umat sibuk dan tidak banyak berdevosi dengan doa jalan salib maka yang datang maksimal 5 orang dan pertama kali tidak ada yang datang jadi saya sendiri yang mendoakan doa ini sambil berlatih membaca tulisan Jepang. Inilah kenyataan yang sangat berbeda dengan pengalaman doa bersama saat saya ada di Indonesia. Maka saya tidak heran lagi kalau yang datang hari-hari terakhir ini hanya satu ibu bernama Nunobe-San (74 tahun) dan saya beruntung sekali karena ibu ini dengan baik hati mengajak saya bercakap-cakap dalam bahasa Jepang sebelum dan sesudah doa jalan salib di kapel kecil itu.
Tiap Minggu di dalam gedung gereja Shimasaki ini hanya dirayakan misa sekali yaitu jam 9 pagi ang biasa dihadiri sekitar 80 umat dan mayoritas adalah ibu-ibu lansia. Sangat jarang ada anak muda dan anak-anak kecil pun sedikit jumlahnya. Di dekat parok ini ada satu susteran FMM yang memiliki sekitar 50 suster, semuanya Jepang. Mereka juga berusia lanjut bahkan ada yang berusia 103 atau sekitar 100 tahun ada 3 orang. Tiap hari pastor kepala paroki dan satu pastor Xaverian lain, kakak kelas saya dari Brasil yang berada di tahun kedua dalam belajar bahasa Jepang secara bergiliran memimpin misa harian di susteran FMM itu. Tiap Selasa saya mendampingi pastor kepala paroki untuk misa harian itu namun saya masih menjadi konselebran yang “membisu” karena belum diperkenankan untuk membaca bagian misa. Semuanya saya jalankan dengan penuh semangat dan ketaatan apa pun yang diminta oleh pimpinan.
Beberapa hari lalu saya ikut berpartisipasi dalam kegiatan anak muda di paroki ini yaitu berjalan kaki dari gereja selama 15 menit ke satu tempat lebih tinggi yaitu dekat kuburan Katolik di Kumamoto untuk merayakan misa. Mereka adalah anak-anak SMP dan SMA berjumlah 5 orang. Sepanjang jalan saya memberanikan diri untuk bercakap-cakap dengan mereka dalam bahasa Jepang. Sungguh suatu pengalaman yang sangat indah bisa bicara dengan anak muda Jepang karena selama ini saya sudah mencoba berbicara dengan umat ibu-ibu lansia setelah misa Minggu usai. Saya tidak malu dan segan untuk mengeluarkan perbendaharaan kata dan kalimat yang sudah saya pelajari dari sekolah atau saya pelajari sendiri. Kalau saya tidak tahu saya bertanya kepada mereka dan mereka pun tidak segan-segan mengoreksi saya.
Pengalaman yang indah lain adalah saya ditawari ikut berpartisipasi dalam lomba atau rekreasi sepeda di Beppu di awal Mei 2009 nanti oleh satu pastor Xaverian lain yaitu P. Fedele Ceruti, S.X. Seorang Jepang, teman pastor ini yang mengajak saya untuk turut lomba naik sepeda ini. Dalam dua bulan terakhir ini saya bicara lewat telepon dan juga email dengan Giuliano-San (Katolik) ini dan dia yang sangat baik sesuai kesan Pastor Ceruti dan saya sendiri meskipun belum berjumpa sendiri, telah menyiapkan sepeda dia untuk saya pakai dalam lomba funbike ini dan juga hotel yang sudah dia pesan baik di Beppu maupun di Oita. Saya berencana pergi sendiri ke Beppu dari Kumamoto hari Sabtu, 2 Mei 2009 dengan membawa sepeda lipat saya yaitu naik bis sekitar 4,5 jam
.

Saturday, December 27, 2008

Natal 2008 di Kumamoto, Jepang Selatan

Natal 2008 di Kota Kumamoto, Jepang Selatan
Oleh Alexander Denny Wahyudi, s.x.

Berikut ini sedikit laporan dan sharing pengalaman saya sebagai misionaris yang baru saja tinggal di Jepang selama hampir lima bulan ini. Saya menceritakan apa yang terjadi dalam suasana natal di ketiga paroki di Kumamoto yang sempat saya ikuti dalam perayaan natal tahun ini. Ketiga paroki itu adalah Shimasaki di mana saya tinggal, lalu Gereja Tettori di pusat Kota Kumamoto dan Gereja Musashigaoka yang terletak di pinggiran kota.

Suasana Natal di tahun 2008 di beberapa paroki di sekitar Kumamoto, Pulau Kyushu, Jepang Selatan sungguh memberikan kesan tersendiri bagi saya pribadi yang baru memulai hidup di tanah misi sebagai seorang misionaris. Tidak seperti di negeri kita Indonesia tercinta terutama di kota-kota besar seperti Jakarta di mana perayaan Natal selalu dihadiri banyak umat Katolik sampai di luar gedung gereja, di Jepang setidaknya dalam pengalaman pertama Natal di kota kecil seperti Kumamoto ini tidak banyak umat yang berlimpah memenuhi gereja. Memang jumlah umat yang datang saat misa Natal di gereja Shimasaki, Kumamoto tempat saya tinggal sekarang ini lebih banyak dibandingkan misa Minggu biasa. Bahkan mereka yang datang ke misa malam natal tunggal pukul 19.00 ini banyak yang bukan Katolik. Misa tunggal hari Minggu biasa tiap jam 9 pagi biasanya dihadiri sekitar 80 umat dan mayoritas ibu-ibu senior alias lansia namun sekali setahun gedung gereja yang berbentuk mirip UFO dari luar ini (berbentuk bundar) saat natal dipenuhi oleh banyak pendatang baru. Bahkan tim kor yang menyumbangkan lagu dengan gaya professional mereka yang terdiri dari bapak-bapak senior itu semuanya bukan Katolik namun mereka dengan semangat menyanyikan lagu-lagu Katolik baik dalam bahasa Latin maupun bahasa Jepang dengan merdunya. Mereka berjumlah sekitar 20 orang.

Misa malam natal ini diawali dengan perarakan oleh pastor paroki, Danilo Marchetto,sx yang sudah menjadi misionaris di Jepang selama 20 tahun bersama beberapa anak dengan berpakaian ala zaman Yesus yang memberikan gambaran sebagai Maria, Yosef dan beberapa gembala. Dalam perarakan di awal misa ini mereka mempersembahkan bayi Yesus di kandang gua natal yang berada di depan samping kanan altar. Lalu dilanjutkan dengan perayaan misa natal yang berlangsung selama 1,5 jam. Umat yang hadir berjumlah sekitar 300 orang. Dalam doa umat anak-anak yang turut dalam perarakan ini membacakan doa satu-persatu dari tempat duduk mereka. Secara umum perarakan natal ini tidak berbeda dengan misa natal lain di Indonesia. Hal yang membedakan adalah bahasa yang baru untuk saya yaitu bahasa Jepang. Dalam misa minggu biasa yang memberikan komuni biasanya hanya satu pastor atau dua pastor namun dalam misa natal ini kami bertiga turut bertugas membagikan komuni. Anak-anak kecil dan orang dewasa yang belum dibaptis pun mereka turut maju ke depan untuk menerima berkat dari pastor termasuk para anggota kor yang berpakaian jas hitam.

Setelah misa selesai, perayaan kebersamaan dilanjutkan dengan makan bersama di aula paroki dekat gereja yang diawali dengan “Kanpai” yaitu cheers dengan mengangkat gelas minuman masing-masing yang menjadi tanda selamat natal bagi semuanya. “Kurisumasu omedetou gozaimasu” (selamat natal) yang diawali oleh Matsumoto-San sebagai tokoh Katolik di paroki yang sebelumnya digembalakan oleh Misionaris Columban asal Irlandia dan sekarang dilayani oleh Misionaris Xaverian. Selanjutnya santap malam dengan model prasmanan atau standing party dengan menu sushi bar yang dipersiapkan oleh ibu-ibu paroki yang bekerja dengan penuh dedikasi. Karena banyak umat yang hadir dalam misa dan perayaan ini baru pertama kali berjumpa dengan saya maka beberapa dari mereka banyak menyapa dan bertanya kepada saya dengan keterbatasan bahasa Jepang yang sudah saya pelajari. Meskipun bahasa masih menjadi penghalang utama bagi saya untuk berkomunikasi dengan umat namun saya merasakan keterbukaan dan keramahtamahan umat dalam menerima kami sebagai gembala. Beberapa anak yang turut ambil bagian dalam perayaan bersama ini turut bergembira bersama saya dengan foto bersama dan sesekali saya memberikan salam dan bertanya sedikit seputar nama dan sekolah mereka. Setelah makan malam bersama ini selesai maka perayaan natal pun selesai, satu per satu umat kembali ke rumah mereka masing-masing. Di hari Natal 25 Desember di gedung gereja Shimasaki, Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus ini tidak lagi dirayakan misa namun misa pukul 7 pagi dirayakan di kapel biara suster FMM yang memiliki sekitar 50 suster lansia yang tidak dapat datang ke gereja malam natal sebelumnya.

Di Kota Kumamoto ini ada satu paroki lain yang lebih besar dan terletak di tengah kota di mana banyak dijumpai pusat bisnis dan hotel. Gereja ini jauh lebih tua dibandingkan gereja di Shimasaki yang berjarak sekitar 3 kilometer. Gereja Tettori yang berusia lebih dari 100 tahun dan digembalakan oleh seorang imam diosesan Keuskupan Fukuoka ini merayakan misa malam natal dua kali yaitu jam 19.00 dan 22.00. Lalu, di hari Natal tanggal 25 Desember pukul 10.00 dirayakan misa natal di mana gedung gereja nampak penuh dengan misa pembaptisan seorang ibu lansia dan seorang bayi. Misa dirayakan dalam bahasa Jepang dan nampak banyak ibu-ibu lansia dengan kerudung putih saat misa sebagai tradisi gereja Katolik Jepang. Satu hal yang menarik dalam misa di Tettori ini adalah ada satu suster yang menjadi juru penerjemah dalam bahasa tubuh bagi umat tuna rungu dan tuna wicara. Sepanjang misa berlangsung bahkan dalam saat menyanyikan lagu-lagu misa pun suster ini terus berbicara dalam bahasa tubuhnya sebagai pelayanan bagi saudara-saudari yang tidak mampun mendengar dengan telinga namun mampu melihat dan mendengar dengan suara hati mereka.

Sekitar delapan kilometer dari Gereja Tettori ada lagi satu gereja Katolik yaitu di daerah bernama Musashigaoka di mana Pastor Renato Filippini,s.x. (39 tahun) asal Italia melayani sebagai gembala dalam tiga tahun terakhir ini. Gereja ini lebih mungil dibandingkan dua gereja di atas namun umat Katolik Jepang yang ada banyak keluarga muda. Di gedung gereja inilah saya tiap bulan melayani misa berbahasa Inggris yang kebanyakan diikuti oleh ibu-ibu muda asal Philipina yang menikah dengan orang Jepang dan biasanya suami mereka bukanlah Katolik. Dalam misa bahasa Inggris (selalu dalam minggu ketiga) bulan Desember ini dihadiri sekitar 50 umat termasuk anak-anak mereka. Setelah misa mereka merayakan natal bersama dengan permainan dan makan siang bersama yang berlangsung pula di dalam gedung gereja ini dengan terlebih dahulu ditutup dengan pintu pembatas antar altar dan gedung gereja yang berkapasitas sekitar 120 umat ini. Lain dengan dua gereja di atas yaitu Shimasaki dan Tettori, di gereja Musashigaoka ini umat yang masuk dalam gereja harus menanggalkan alas kaki dan memakai sandal yang tersedia di depan gereja. Hal ini menjadi tradisi Jepang yang masih dipelihara di gereja ini. Umat Philipina ini diundang pula untuk merayakan misa natal bersama umat Jepang lainnya di baik misa malam natal maupun di tanggal 25 Desember dengan tujuan agar persatuan antar mereka sebagai umat Katolik terwujud kendati berbeda budaya dan asal-usul. Demikian ditekankan Pastor Renato,s.x. sebagai kepala paroki Musashigaoka. Bahkan di bulan Januari nanti umat Philipina diundang untuk datang ke misa bersama suami mereka yang tidak beragama Katolik sebagai perkenalan awal bagi orang Jepang yang bukan Katolik itu, bukan untuk mengajak mereka menjadi Katolik namun turut merangkul mereka sebagai bagian dari perkumpulan dan kegiatan-kegiatan mereka.

Satu hal yang disayangkan tidak terjadi adalah saat misa malam natal di Shimasaki yang dihadiri sekitar 300 umat dengan konselebrasi 4 imam, pastor kepala paroki, Danilo Marchetto, s.x. tidak memperkenalkan kepada umat tentang siapa kami bertiga imam muda yang baru saja tinggal di Jepang selama hampir 5 bulan dan setahun lebih. Kami bertiga sedang belajar bahasa Jepang di YWCA Kumamoto. Kami adalah P. Michel da Rocha, sx (31 tahun) asal Brasil, P. Felipe Lopez Orozco,sx (36 tahun) dari Mexico dan saya sendiri, P. Denny Wahyudi,sx asal Indonesia. Namun demikian saat setelah misa kami memiliki kesempatan untuk beramah-tamah dengan umat dengan modal bahasa Jepang yang sudah kami dapat dari sekolah.

Dalam pembicaraan dengan beberapa pastor Xaverian yang berkarya di daerah Kyushu ini, saya mendapatkan kesan bahwa kepenuhan dan target karya kerasulan mereka tidak berdasarkan pada kuantitas umat yang datang ke gereja namun lebih pada kualitas. Memang sulit bermisi di Jepang kalau mengandalkan jumlah umat dan baptisan karena banyak gereja yang berukuran mini dalam kuantitas seperti satu lingkungan kecil di satu paroki besar di Jakarta misalnya. Bahkan 10-50 orang saja saat misa hari Minggu. Itulah tantangan hidup mengereja di Jepang ini yang memiliki jumlah umat Katolik sekitar 450 ribu orang Jepang dan setengah juta Katolik orang asing yang berasal dari Brasil, Mexico, Peru, Philipina dan juga Indonesia di kota-kota besar seperti Osaka, Tokyo dan Nagoya.

Wednesday, December 19, 2007

Riwayat Hidup dan Panggilan Romo Denny Wahyudi, SX

Riwayat Hidup
ROMO ALEXANDER DENNY WAHYUDI, SX

“Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan,
maka terlaksanalah segala rencanamu” (Amsal 16:3)

- Lahir di Madiun, 24 November 1974 dari pasangan Bapak Johnny Indrata dan (Almarhumah) Ana Maria Indrawati di Rumah Sakit Katolik Panti Bagija, Madiun yang dikelola oleh para Suster Misionaris Claris dari Sakramen Mahakudus (M.C.). Denny adalah anak ketiga dari lima bersaudara.
- 1979-1981: pernah bersekolah di TK Kristen Widya Wacana Solo, TK Katolik Marsudirini Solo, dan lulus di TK Bernardus (ditangani oleh para suster Ursulin, OSU) Madiun, Jawa Timur.
- 1981 – 1987: SD Katolik Santo Yusuf (dijalankan oleh para bruder Santo Aloysius, CSA) Madiun
- 1987 – 1990: SMP Negeri 2 Madiun
- 1988 – 1990: menjalani masa katekumenat di Novisiat Suster Misionaris Claris dari Sakramen Mahakudus (M.C.), Jalan Mundu, Madiun, Jawa Timur.
- 24 Desember 1990: dibaptis Katolik di Gereja Santo Cornelius, Madiun oleh Pastor Sebastiano Fornasari, C.M.
- 1990 – 1993: SMA Negeri 2 Madiun
- Agustus 1993 – Desember 1993: bekerja di Rapico Foto, Menteng dan Adorama Foto, Jalan Kemang Raya, Jakarta
- Januari 1994 – Mei 1996: bekerja di P.T. Surya Pertiwi (TOTO), Jalan Pinangsia dan Jalan Tomang Raya, Jakarta
- Agustus 1996 – Mei 1997: Pra-Novisiat Serikat Misionaris Xaverian di Bintaro, Jakarta. Menjalankan kerasulan Sekolah Bina Iman Anak-anak di Paroki Keluarga Kudus, Pasar Minggu, Jakarta.
- Juli 1997 – Juni 1998: Novisiat Xaverian di Bintaro, Jakarta. Menjalankan kerasulan di SSP Paroki Santo Thomas Rasul, Bojong Indah dan Sekolah Bina Iman Anak-anak di Paroki Keluarga Kudus, Pasar Minggu, Jakarta.
- 21 Juni 1998: mengikrarkan kaul pertama
- 1998 – 2002: studi filsafat di STF Driyarkara, Jakarta. Menjalankan kerasulan mendampingi katekumen Universitas Bina Nusantara Jakarta, katekumen di Paroki Santo Petrus Paulus Mangga Besar Jakarta, Dialog Antar Agama, dan mengajar agama di SMP Negeri 4 Jakarta, SMA Negeri 2 Jakarta dan SMA Negeri 5 Jakarta.
- November 2002 – Agustus 2003: belajar bahasa Inggris di ESL Program Sacred Heart School of Theology di Hales Corners, Wisconsin, Amerika Serikat.
- September 2003 – Mei 2007: studi teologi program Master of Divinity (M.Div) dan Master of Arts (MA bidang spiritualitas) di Catholic Theological Union (CTU) Chicago, Amerika Serikat.
- 6 Mei 2006: mengikrarkan kaul-kaul kekal di Komunitas Xaverian, Franklin, Wisconsin, Amerika Serikat.
- 14 Mei 2006: ditahbiskan diakon oleh Bishop John R. Gorman di Gereja Santa Theresia Kanak-kanak Yesus, Chinatown, Chicago, Amerika Serikat.
- 4 September 2006 – 4 Juni 2007: menjalankan pastoral diakonat di Gereja Santa Theresia Kanak-kanak Yesus, Chinatown, Chicago, Amerika Serikat.
- 15 Agustus 2007: ditahbiskan imam di Gereja Santo Mateus, Bintaro, Jakarta oleh Kardinal Julius Darmaatmadja, S.J.

Sungguh besar kasih Allah yang telah memanggil saya pada panggilan misioner di Serikat Misionaris Xaverian. Betapa tidak, saya yang baru saja dibaptis di kelas satu SMA, secara cepat merasakan getar-getar panggilan dalam hati setelah aktif di kegiatan doa-doa lingkungan, Mudika dan ziarah paroki. Keinginan tahuan yang besar akan panggilan menjadi imam ini terjawab dengan membaca majalah Katolik HIDUP saat doa rosario di ketua lingkungan Kejuron, Bapak Budiman waktu itu. Di situlah saya menemukan Serikat Misionaris Xaverian dan langsung saya menulis surat ke Yogya, yaitu promotor panggilan bernama Pastor Silvano Laurenzi, S.X. Korespondensi yang teratur menjawab segala pertanyaan saya tentang seluk-beluk menjadi seorang imam Xaverian. Saya merasakan kehangatan yang mendalam saat bertemu pastor yang penuh semangat ini pertama kali di Gereja Santo Fransiskus Xaverius, Kidul Loji, Yogyakarta, saat nenek saya dirawat di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta. Sejak saat itu saya memproyeksikan diri saya dengan kehidupan seorang frater Xaverian yang sering kubaca di Warta Xaverian. Setiap kali menerima Warta ini saya baca berulang kali serasa saya menjadi bagiannya. Tidak heran saya mengenal banyak nama frater dan mantan frater Xaverian yang menjalani pendidikan di Jakarta ini meskipun saya tidak pernah bertemu mereka. Saya pun dengan tekun mengikuti perkembangan mereka hingga suatu saat saya dapat menghadiri satu buah sulung tahbisan Xaverian pertama Indonesia di Gereja Mlati, Yogyakarta, yaitu Romo Albertus Priyono, S.X. di bulan Oktober 1995. Saat itu saya sengaja cuti dari kantor untuk menghadirinya. Memang saya selulus SMA tidak langsung masuk Xaverian karena keluarga saya masih belum setuju, maka saya bekerja dulu di Jakarta selama tiga tahun. Pengalaman bekerja di Jakarta ini memberikan waktu cukup bagi saya untuk berpikir dan menimbang yang akhirnya memutuskan: YA, saya bersedia masuk dan ikut tes. Saya mengikuti tes psikologi, tes masuk STF Driyarkara dan wawancara di bulan Februari 1996 di Bintaro, setelah beberapa kali bimbingan pribadi dengan Pastor Nico Macina, S.X. di Wisma Xaverian, Cempaka Putih. Saya diperkenankan langsung melamar ke Xaverian tanpa harus masuk KPA di seminari menengah. Rupanya saya sungguh didukung oleh Pastor Laurenzi. Akhirnya saya diterima masuk Pra-Novisiat di Bintaro yang sudah selama ini saya sering memantau tempat dan pembangunan gedung barunya. Saat itu kami berjumlah 15 orang dan saya adalah satu-satunya yang bukan berasal dari seminari. Sering kali teman-teman bercanda bahwa saya berasal dari “Seminari TOTO” karena memang saya bekerja di perusahaan ini selama 2,5 tahun. Hari demi hari saya jalani dengan penuh antusias, jatuh-bangun, dengan suka-duka yang memberikan makna mendalam dalam hidup saya pribadi.
Keluarga saya yang dulunya melarang saya untuk menjadi imam, sedikit demi sedikit mereka menerima dan sangat bangga. Saya yakin dukungan dan tantangan dari semua pihak memberikan dinamika tersendiri dalam menjalani hidup panggilan mulia ini. Saya memiliki keyakinan yang besar dan sekaligus berpasrah kepada kehendak Allah atas masa depan panggilan ini. Saya menyadari panggilan ini tidak mudah, maka motto awal saya ketika masuk Xaverian adalah: “Barangsiapa ingin mengikuti Aku, ia harus menyangkal diri, memanggul salib setiap hari dan mengikuti Aku” (Lukas 9:23). Selain salib dan penyangkalan diri, banyak rahmat yang begitu besar yang boleh saya terima dengan syukur. Rahmat yang bagi saya teramat besar, tidak terpikirkan sebelumnya. Contohnya: kesempatan emas yang diberikan Serikat Xaverian bagi saya untuk menjalani studi teologi di Chicago, Amerika Serikat senantiasa mengingatkan saya untuk terus bersyukur dan bersemangat dalam jalan ini dengan penuh kesetiaan seumur hidup. Saya berpikir bahwa saya pribadi tidak akan dapat dan mampu pergi ke luar negeri apalagi studi tinggi apabila saya tidak menjadi anggota Serikat ini. Kendati banyak tantangan yang saya hadapi baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat namun semuanya itu indah pada akhirnya, karena “segala perkara dapat kutanggung dalam Dia yang memberikan kekuatan padaku” (Filipi 4:13).
Akhirnya saya mampu berkata bahwa panggilan menjadi imam misionaris Xaverian sungguh jodoh saya karena dalam waktu 11 tahun ini banyak kejadian yang tidak terduga oleh pemikiran manusia belaka menjadi kenyataan. Ada yang masuk dan ada banyak pula yang keluar. Saya patut bersyukur dan berbangga hati karena angkatan saya yang berjumlah 15 di awal masa pembinaan, sekarang masih berjumlah lima. Tiga diantarnya ditahbiskan imam bersama hari ini yaitu Utomo, Dharmawan dan saya sendiri. Dua lainnya yaitu Marsel dari Toraja yang sedang belajar teologi di Manila akan menyusul di tahun depan dan Made dari Bali yang menjalankan studi teologi di Mexico City akan mencapai tahap ini dua tahun ke depan. Saya persembahkan doa-doa dan rasa syukur saya untuk mereka berdua dan semua adik-adik kelas saya yang sedang menjalani proses panggilan ini. Tak lupa saya berdoa bagi semua rekan saya yang telah menjalani hidup di luar sebagai awam. Semoga kalian semua tetap menjadi “Xaverian” dalam hati dan realita hidup sehari-hari, menjadi garam dan terang bagi sesama di sekitar kita. Saya turut berterima kasih kepada Serikat Xaverian, para pembina, karyawan-karyawati di rumah-rumah Xaverian, guru-guru dan dosen-dosen kami, keluarga, sahabat, segenap panitia tahbisan imamat ini yang telah bekerja keras, para imam yang hadir saat ini dan umat sekalian, Bapak Uskup Agung Jakarta dan semua yang telah memberikan warna tersendiri dalam hidup dan kehidupan saya. Cinta dan kasih Anda sekalian memberikan makna tertinggi dalam hidup saya yang patut terus saya syukuri dan kenangkan.
Kini saatnya saya mohon doa restu Anda sekalian untuk tahap kehidupan saya selanjutnya khususnya untuk terus setia seumur hidup menjalani misi mulia sebagai imam misionaris di Keluarga Xaverian tercinta ini, menjalankan misi saya nanti di Jepang sebagai penugasan pertama saya sebagai imam, yang didahului dengan belajar bahasa Italia di Ancona, Italia selama 6 bulan. Untuk ujud ini saya berani berseru:

“Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan,
maka terlaksanalah segala rencanamu”
(Amsal 16:3)