Missionaris Xaverian di Jepang (Alexander Denny Wahyudi,sx)
Misionaris Xaverian mulai berkarya di Jepang sejak tahun 1949. Seperti misi-misi Xaverian di negara lain seperti di Indonesia, beberapa misionaris yang diusir dari tanah misi Cina mengalihkan misi mereka juga di negeri matahari terbit ini termasuk ketiga imam Xaverian berasal dari Cina. Di Jepang ada 34 imam Xaverian yang sekarang sedang berkarya di berbagai bidang diantaranya pastoral paroki dengan beberapa lembaga pendidikan Katolik Taman Kanak-kanak, tenaga pengajar di sekolah menengah dan universitas, karya seni, dialog antar agama dan pusat studi dan riset budaya (Asian Study Center) . Wilayah karya misi Xaverian di Jepang terbagi dalam dua zona yaitu Kansai meliputi Osaka (termasuk Takamatsu) dan Kyushu (Miyazaki, Kagoshima dan Kumamoto) yang masuk dalam 5 keuskupan yaitu Osaka, Takamatzu, Fukuoka, Oita dan Kagoshima. Kami sebagian besar tinggal dan berkarya di satu paroki dan setiap bulan (sekali atau dua kali) para Xaverian berkumpul bersama di masing-masing zona untuk pertemuan kekeluargaan, informasi atau pun rekoleksi. Dari ke-34 Xaverian ini ada 5 orang yang bukan berasal dari Italia yaitu 2 Spanyol, 1 Brasil, 1 Mexico dan saya sendiri dari Indonesia. Bahasa pengantar dan dokumen yang dipakai di kalangan Xaverian di Jepang ini adalah bahasa Italia maka sebelum tinggal di Jepang saya mendapat tugas mempelajari bahasa Italia di Ancona, Italia selama 10 bulan. Pengalaman belajar bahasa Italia ini yang pasti memberikan bekal tersendiri bagi saya untuk lebih memahami budaya dan bahasa leluhur serta asal keluarga Xaverian yang sekarang sudah mencakup keanggotaannya dari berbagai bangsa dan benua di dunia.
Gereja Katolik Jepang terbagi dalam 16 keuskupan dan semua uskup adalah orang Jepang sendiri dengan jumlah umat Katolik Jepang sekitar 450 ribu orang dan 500 ribu orang Katolik dari negara lain seperti negara-negara Amerika Latin, Philipina, Indonesia dan negara lainnya. Kalau saya ditanya apa kesan kehidupan gereja Katolik di Jepang? Biasanya saya jawab gereja Katolik di Jepang seperti gereja bonsai dengan jumlah umat yang sedikit, mayoritas ibu-ibu lansia dan rasanya sulit memberikan harapan cerah di masa depan kalau melihat situasi sekarang ini yang serba terbatas dalam sumber daya manusia. Ada satu keuskupan yang hanya memiliki umat Katolik sekitar 5.000 orang, kalau di Indonesia sejumlah ini hanya untuk satu paroki saja. Kebanyakan umat Jepang yang hadir dan aktif dalam kegiatan gereja telah berusia senja dan ini bisa terlihat juga dalam biara-biara para suster juga banyak yang berusia di atas 65 tahun. Situasi hidup menggereja di Jepang mengkondisikan satu imam menangani satu atau beberapa gereja sekaligus karena keterbatasan tenaga imam asli Jepang sendiri yang berjumlah hanya sekitar 500 orang (usia medium 62 tahun) dan terdapat sekitar 1.000 imam misionaris (usia medium 67 tahun) dari berbagai tarekat religius dan misi. Sedangkan satu gereja memiliki sedikit umat kalau dibandingkan dengan gereja-gereja di Indonesia. Di Jepang satu paroki memiliki rata-rata 100-800 orang saja sedangkan jumlah gereja dan paroki demikian banyak. Kalau dihitung ada sekitar 25 paroki yang dilayani oleh Xaverian. Hal ini mau tidak mau satu imam tinggal dan hidup sendiri di satu paroki yang relatif kecil itu. Ada usaha untuk membentuk satu komunitas hidup Xaverian namun melihat keadaan yang ada cukup sulit untuk diwujudkan. Paling tidak ada satu gereja di mana tinggal dua Xaverian yang menangani dua paroki atau lebih, atau seperti saya sendiri yang baru saja selesai studi bahasa Jepang sejak setahun lalu ditugaskan menjadi pastor pembantu di satu gereja terbesar di kota Kumamoto dengan pastor kepala parokinya seorang imam projo Jepang (70 tahun). Biasanya setelah menyelesaikan studi bahasa selama 2 tahun, seorang Xaverian ditugaskan menjadi pastor pembantu di satu gereja baik dengan pastor paroki Xaverian atau projo dan setelah dirasakan mampu berkarya sendiri setelah kurang lebih 5 tahun hidup di Jepang maka tiba waktunya diberikan tugas menjadi kepala paroki di satu gereja.
Apa yang menjadi tantangan bermisi di Jepang? Tidak diragukan bahwa Jepang adalah negara misi bagi misionaris karena sangat sedikitnya umat, sekitar 0.3 persen (450 ribu orang) dari 127 juta penduduk yang ada. Meskipun secara materi dan ekonomi berkelimpahan namun nilai-nilai Injil Yesus bagaikan tanah berbatu yang dikelilingi duri dan banyak benih-benih Kristiani yang pernah tersebar hilang dilahap oleh burung-burung yang memangsanya dengan cepat. Banyak hal yang ditiru dari budaya Eropa dan Amerika namun sayangnya nilai-nilai Kristiani yang telah pudar pula dari benua asal misionaris ini juga menular ke Jepang sehingga karya misi dewasa ini sangatlah sulit. Menurut laporan situasi misi di Jepang yang dituliskan oleh propinsial Serikat Xaverian di Jepang beberapa tahun lalu, tantangan misi di Jepang adalah:
1. Tantangan sejak awal adalah masalah budaya dan bahasa yang sangat berbeda yang menuntut ketelatenan dan kesabaran ekstra serta tekanan psikologis bagi misionaris asing bahwa dirinya tidak diterima dengan baik oleh orang Jepang dan kehadirannya tidak membawa banyak arti bagi perkembangan gereja lokal.
2. Kesadaran bahwa terdapat tragedi pengikisan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat yang berakibat pada bertumbuh pesatnya budaya materialistik yang berpusat pada motif ekonomi dan menjauhkan diri dari nilai-nilai spiritual dan hati nurani.
3. Di dalam gereja, kami kadang-kadang menemukan akibat negatif dari teologi “pluralist” yang terlalu menekankan karya Allah melalui Roh Kudus dan Sang Sabda yang telah ada dalam masyarakat, budaya dan agama yang ada di Jepang sehingga karya gereja hanya mendukung karya yang terbatas dan pewartaan Injil serta pentingnya pertobatan menjadi Kristiani tidak menjadi prioritas utama.
4. Dewasa ini, kelompok pastoral gereja dan permintaan beberapa keuskupan dengan keraguan dan ketidakpastian atau kurangnya kemampuan dalam kepemimpinan menjadi tantangan yang nyata bagi perkembangan gereja. Seorang imam misionaris berkarya tidak lebih dari seorang imam projo daripada mengembangkan karismanya sebagai misionaris. Berbagai macam tarekat misi dewasa ini secara terbuka berusaha mencari terobosan baru dalam karya pewartaan Injil sebagai karya utama mereka dan bagaimana karisma misi mereka dapat diwujudnyatakan dalam konteks misi di Jepang. Namun tanggapan para uskup tidaklah begitu menggembirakan karena kami diarahakan untuk tetap pada tugas dan karya kami di tempat yang telah ada. Lebih jauh lagi para uskup hanya mengharapkan bahwa para misionaris yang masih bisa bertahan dapat mengisi kekurangan imam projo yang semakin berkurang jumlahnya.
5. Kesulitan yang cukup berat lainnya adalah dalam hal keberadaan personel yang semakin menua dan sedikit tanpa tambahan tenaga baru yang berarti. Hal ini dapat menciptakan ketidakpastian di masa yang akan datang dan hampirlah tidak mungkin memberikan persiapan yang cukup untuk misionaris yang baru dan kesulitan dalam rotasi penugasan di pos dan karya baru. Ketidakpastian dalam hal jumlah misionaris yang siap sedia berpindah tugas dan seringnya rotasi pemindahan tugas dapat mengakibatkan karya misi yang telah ada sulit untuk terus dilanjutkan dengan baik. Kendala ini mau tidak mau membuat pengaturan tugas para misionaris ini terbatas pada apa yang sudah ada dan mencoba untuk tetap bertahan hidup daripada memikirkan pandangan ke depan dan rencana-rencana baru yang lebih sesuai dengan kehadiran dan kegiatan yang lebih sesuai dan konkret dalam situasi yang ada sekarang.
5. Kesulitan dalam pewartaan pertama. Jepang memiliki kebutuhan yang sangat mendesak dan menetap dalam pewartaan Injil pertama namun hal ini tidaklah mudah dijawab. Sayang sekali sangat sedikit orang Jepang yang tertarik dan mendekati gereja dan sedikit yang berkeinginan mendengarkan kami. Bagaimana kita dapat menjangkau mereka? Kita tidak boleh hanya menunggu mereka datang melihat kesaksian hidup kita. Kita hendaknya dapat belajar dari karya Santo Fransiskus Xaverius dan para misionaris awal yang buahnya memang dari awal sedikit hingga saat sekarang. Bagaimana kita dapat mewujudnyatakan jawaban atas tantangan ini dalam taraf pribadi dan komunitas?
Pengalam pribadi saya sebagai misionaris Xaverian dalam 3 tahun ini di Jepang.
Setelah saya menyelesaikan sekolah bahasa Jepang saya baik di YWCA (6 bulan) dan YMCA (1, 5 tahun), akhirnya saya mendapatkan tugas di satu paroki masih di kota Kumamoto yaitu Tetori dengan pastor kepala paroki seorang pastor projo, Pastor Makiyama yang berasal dari Nagasaki. Bagaimana saya bisa diterima di paroki ini? Cerita singkatnya, setelah 9 bulan tinggal di Jepang saya memberanikan diri untuk misa di gereja paling besar di Kumamoto dengan jumlah umat sekitar 800 orang ini. Saat saya minta ijin dari pastor Makiyama ini untuk ikut berkonselebrasi bersamanya dalam misa hari Minggu, malahan saya ditanya apakah saya bisa mempersembahkan misa dalam bahasa Jepang. Maka langsung saya jawab bahwa saya sudah biasa mempersembahkan misa harian saya dalam bahasa Jepang. Akhirnya dia malahan memberikan kesempatan buat saya untuk memimpin misa di hari Minggu dan dia yang berkhotbah. Suatu pengalaman yang tidak pernah terlupakan buat saya pribadi karena memang sebelumnya saya tidak pernah sama sekali mempimpin misa di hadapan umat Jepang apalagi di hari Minggu. Dengan terharu dan bangga saya dapat menjalankan tugas dengan baik di misa hari Minggu itu yang tentunya tata cara misanya semua dalam bahasa Jepang dan tulisan Jepang. Saya berpikir inilah hasil dari belajar saya sendiri dari bagaimana cara membaca tulisan Jepang dengan suara lantang baik buku misa bahasa Jepang, bacaan kitab suci harian dan hari minggu. Memang di sekolah dan di komunitas Xaverian tempat saya tinggal tidak ada yang memberikan pelajaran ini tapi dengan inisiatif sendiri saya dengan senang hati belajar sendiri. Sampai suatu saat ada satu suster FMM Jepang, Suster Nishioka yang berusia 85 tahun yang bersedia memberikan pelajaran bahasa Jepang buat saya khusus dalam membaca buku brevir bahasa Jepang. Setelah pengalaman misa pertama dalam bahasa Jepang itu, saya diminta oleh pastor paroki Tetori itu untuk mempersembahkan misa setiap minggu pertama tiap bulan untuk misa internasional yang sebenarnya adalah misa bahasa Jepang dengan beberapa lagu dan bacaan kedua dalam bahasa Inggris. Dengan senang hati pula saya menjawab undangannya termasuk makan siang setelah misa di restaurant dekat gereja yang terletak di pusat kota Kumamoto ini. Suatu saat pastor kepala paroki ini memberikan tawaran buat saya bahwa setelah selesai sekolah bahasa Jepang selama 2 tahun, kalau saya bersedia saya diperbolehkan tinggal dan membantu di paroki Tetori ini. Hal ini saya sampaikan kepada pimpinan Xaverian di Jepang dan dengan inisiatif dari propinsial saya ini akhirnya saya “dititipkan” atau diutus ke paroki ini setelah genap saya belajar bahasa Jepang 2 tahun. Dengan senang hati pula saya menjalankan tugas perutusan ini meskipun awalnya agak terkejut juga karena secepat itukah saya harus bermisi.
Saat ini genap setahun saya tinggal di paroki Tetori ini yang memiliki pastoran baru dua lantai yang baru selesai direnovasi 2 tahun sebelumnya. Di samping gereja ini ada sebuah hotel menjulang tinggi yaitu Hotel Nikko Kumamoto. Kalau saya bandingkan dengan kamar hotel ini, saya kira kamar saya masih lebih luas dan nyaman. Inilah rahmat yang nampak dari apa yang saya sedang jalani sekarang ini. Seumur-umur saya baru pertama kali ini memiliki tempat tinggal dengan sebuah kamar pribadi yang sangat luas dan baru lagipula tiap sabtu pagi ada yang membersihkan. Awalnya saya merasakan tidak layak karena saya sudah terbiasa tinggal di kamar yang kecil atau bersama konfrater lain saat di Indonesia atau tempat saya tinggal sebelumnya. Namun lambat laun saya terbiasa dengan situasi dan fasilitas yang tersedia sebagai berkat tersendiri dari Tuhan dan umat yang penuh perhatian pada gereja. Karena ini rahmat Tuhan semata, jadi suatu saat apabila saya harus berpindah mungkin di tempat yang lebih kecil dan lebih tidak nyaman dari tempat sekarang, saya harus siap juga menerima dengan lapang dada. Inilah gaya hidup sebagai hamba yang siap sedia menerima apa yang disedikan oleh gereja setempat di mana saya akan ditugaskan kelak. Yang terpenting adalah bukan hal yang nampak lux atau nyaman tapi bagaimana saya harus bisa selalu mensyukuri apa yang tersedia dan bagaimana saya bisa melayani umat dengan penuh semangat dan cinta.
Selama setahun saya di paroki Tetori ini saya mendapatkan beberapa tugas dari pastor paroki seperti misa harian di susteran tiap pagi jam 6 dari hari senin-sabtu dan juga misa hari minggu. Saya pun ditugaskan mengepalai para guru sekolah minggu bina iman di paroki ini. Di hari Minggu juga saya mengajar anak-anak kelas 5 ke atas yang berjumlah sekitar 8 orang. Sekolah minggu ini diikuti oleh untuk anak-anak yang kebanyakan adalah memiliki ibu berasal dari Philipina dan beragama Katolik yang menikah dengan orang Jepang. Sejak 4 bulan lalu saya mengajar satu katekumen, seorang ibu dengan satu anak berusia hampir 3 tahun, dalam bahasa Jepang. Dalam hal sakramen dan sakramentalia saya baru kali ini sebagai imam setelah 4 tahun ditahbiskan, menjalankan tugas pastoral secara penuh seperti pemberkatan rumah, sakramen pengurapan orang sakit, misa dan ibadat untuk orang meninggal, pembaptisan, sakramen pengakuan dosa, perkawinan, komuni pertama dan seterusnya. Di samping melayani umat Jepang saya juga mendapatkan tugas memimpin misa bahasa Inggris di satu gereja lain yaitu Musashigaoka setiap hari Minggu ketiga jam 2 siang yang kebanyakan dihadiri oleh umat Philipina (sekitar 20-30 orang). Tidak hanya tugas pastoral gereja ini saja, bulan lalu pun saya mendapatkan surat tugas dari keuskupan Fukuoka untuk menjadi anggota dari dua komisi kategorial dari keuskupan yaitu Komisi untuk migran dan orang asing dan komisi asosiasi perawat Katolik. Untuk masa depan mungkin akan lebih banyak aktivitas dan agenda buat saya dalam karya dan kegiatan komisi-komisi ini dan juga tugas parokial gereja Tetori ini. Memang kalau dibandingkan dengan kegiatan pastoral di satu gereja di Indonesia, di Jepang tidaklah sesibuk dan sebanyak di Indonesia karena situasi gereja Jepang memang tergolong “mini” atau “bongsai”. Justru di situlah tantangan buat saya sebagai misionaris untuk dengan aktif dan proaktif menggunakan waktu dan kesempatan yang ada sehingga hidup meggereja umat lebih maju. Namun saya juga yakin bukan hanya sekedar aktif saja tapi bagaimana saya tetap bersemangat dan menghidupi apa yang ada di sini. Karena saya berusia muda, 37 tahun, maka banyak umat yang adalah ibu-ibu lansia termasuk pastor paroki selalu berkata bahwa saya masih muda dan masih memiliki harapan panjang dalam hidup ini. Saya merasakan bahwa mereka semua adalah orang tua saya, saudara-saudari saya yang hidup di sekitar saya ini. Benar yang dikatakan Yesus dalam Injil mereka yang bersedia meninggalkan keluarganya dan asalnya demi pelayanan Kerajaan Allah akan mendapatkan berlipat ganda, demikianlah apa yang saya alami saat ini. Di Jepang saya tidak memiliki keluarga karena memang keluarga saya semuanya tinggal di Indonesia namun keluarga Xaverian di Jepang dan juga umat semuanya adalah keluarga saya yang selalu memberikan perhatian dan cinta mereka secara pribadi dan tersendiri buat saya.
Hal yang membuat saya bersemangat adalah bisa bertemu dengan umat setelah selesai misa khususnya di depan gereja memberikan salam dan senyuman sebagai tugas saya. Memang kebanyakan adalah umat Jepang lansia namun juga ada beberapa orang asing seperti Philipina, Argentina, Inggris, Amerika, Mexico, Venezuela, Vietnam, Papu Nugini, Italia, India, Polandia, bahkan Indonesia. Beberapa dari mereka adalah pelajar yang sedang studi lanjut di beberapa universitas di Kumamoto ini. Setidaknya ada 5 umat Indonesia yang juga ikut misa di gereja ini yang sedang studi lanjut di Universitas Kumamoto. Di Universitas Kumamoto sendiri tiap tahun semakin banyak pelajar dari Indonesia yang melanjutkan studi mereka. Mereka kebanyakan berasal dari beberapa universitas negeri di Indonesia yang mendapatkan beasiswa lanjut S-2, S-3 dan program –program studi lainnya. Mungkin ada lebih dari 50 orang mahasiswa Indonesia ada di Kumamoto ini. Maka tidak heran ada satu toko Indonesia yang menjual bahan dan bumbu makanan bukan hanya untuk orang Indonesia tapi juga umat Muslim dari berbagai negara lain. Pemilik toko ini adalah Pak Marlow seorang muslim asal Bogor, Indonesia yang menikah dengan orang Jepang. Yang pasti kerinduan saya akan makanan Indonesia dapat terobati dengan belanja dari toko ini dan masak sendiri masakan Indonesia, bahkan buah durian yang tidak dijual di toko biasa Jepang, akhir-akhir ini saya bisa menikmatinya. Meskipun makanan Jepang selalu menjadi menu harian buat saya tapi sekali-sekali menikmati masakan sendiri ala Indonesia juga memungkinkan di Kumamoto ini.
Satu hal lagi yang membuat kenangan indah buat saya adalah di akhir studi bahasa Jepang di YMCA Kumamoto, saya juga terpilih mengikuti kontes pidato bahasa Jepang yang hasilnya memuaskan buat saya. Televisi lokal Kumamoto pun sempat menayangkannya dalam berita. Event ini genap setahun lalu dan bisa disaksikan di http://www.youtube.com/watch?v=CBb6MnRuVYI Dalam “speech” ini pula saya menyampaikan pesan “Injil” yaitu dengan judul Cinta kasih keluarga atau “Family no Ai” (FAMILY の 愛) , dengan akronim F-A-M-I-L-Y (Father And Mother I Love You) ini mampu membuat pemirsa tergugah karena kebanyakan baru kali pertama mereka mengetahui hal ini. Dalam pidato yang berlangsung tanpa teks karena memang harus dihafal dan dihayati, selama 9 menit, saya menyatakan, “mencintai dan dicintai sebagai manusia memberikan makan yang tertinggi dalam hidup ini”, dalam bahasa Jepangnya “hito wo ai suru koto, hito kara ai sareru koto wa, yo no naka de, ichiban utsukushii koto desu” (人を愛すること、人から愛されることは、世の中で一番美しいことです。) Selain itu ada satu blog saya yang menyimpan banyak kenangan indah dalam bentuk blog, foto dan suara rekaman saat saya mempersembahkan misa bahasa Jepang serta beberapa video lain yang dapat diakses di:
Dalam rangka kanosiasi pendiri Xaverian, Santo Guido Maria Conforti, dari Jepang sekitar 100 lebih umat termasuk 8 Xaverian dan 3 uskup Jepang turut berpartisipasi dalam rombongan ziarah ini. Saya pun termasuk dalam perisitiwa agung penuh syukur ini yang akan berangkat tanggal 21 Oktober dan kembali ke Jepang tanggal 29 Oktober. Dalam hari-hari penuh rahmat di Italia ini nanti yang pasti saya dapat bertemu dan reuni dengan banyak Xaverian dan sahabat yang telah saya kenal selama ini baik di Italia sendiri maupun dari USA. Menurut berita dari SX Flash Xaverian, event kanonisasi ini dapat disaksikan di internet on line dan siaran “live” waktu Italia hari Minggu, 23 Oktober 2011 pukul 10.00 -12.30 pagi di http://www.sat2000.it/diretta.html
Kisah hidup sang pendiri Serikat Misionaris Xaverian pun juga diabadikan dalam bentuk video bahasa Indonesia yang dibuat oleh Pastor Otello Pancani, sx. Dengan ijin beliau saya memposting video-video ini di youtube dan bisa ditonton di http://www.youtube.com/watch?v=0zYwvrFouZU atau
http://www.youtube.com/watch?v=2jtrrLVpD10 dan
http://www.youtube.com/watch?v=jgk8uOq1wno
Selamat mencoba.
Demikianlah kisah pengalaman saya di Jepang yang bisa saya bagikan. Kalau ditanya sampai kapan tinggal dan bermisi di Jepang, saya selalu menjawab bahwa saya siap untuk sampai kapan pun karena biasanya Xaverian yang tinggal di Jepang bisa sampai lanjut usia bahkan sekarang ada 12 Xaverian di Jepang yang berusia di atas 70 tahun. Jadi buat saya tugas di Jepang, di Indonesia atau di negara lain pun, asal masih tetap menjadi anggota dari keluarga Xaverian, saya siap. Dewasa ini juga Xaverian bercorak internasional karena anggotanya ada yang berasal dari negara-negara selain Italia. Maka di awal tahun 2013 nanti akan ditugaskan pula seorang Xaverian berasal dari R.D. Congo, Afrika yang pasti akan memberikan corak internasional untuk Xaverian di Jepang ini karena baru pertama kali Xaverian mengirimkan misionarisnya dari Afrika demikian pula saya adalah Xaverian pertama berasal dari Indonesia. Siapa lagi yang menyusul dari Indonesia bermisi di negeri sakura ini, saya siap menunggu dan membantu…
Untuk melihat sedikit tentang misi Xaverian di Jepang bisa dibuka http://www.rinku.zaq.ne.jp/xaverians/index.htm
No comments:
Post a Comment